AlhamdulillahBibit Bibit Muslim Di Jepang Mulai Banyak
The modern era which is now stepping on the industrial revolution era has caused the human condition to change rapidly, they are “tempted” by technological sophistication so that they slowly forget and leave religion God which ultimately leads to social and spiritual problems in the midst of society in addition to moral problems that cannot be solved with any technological sophistication. The focus of this research is to analyze and find a solution to solve this problem through the concept of humanistic Sufism which was initiated by Said Aqil Siradj and Muh Amin Syukur. The findings produced are that humanistic Sufism Said Aqil and Amin Syukur are Sufism that teaches humans to be active in social life, pro-active to social problems, politics, economics, nationality, please help, tolerance, as well as to draw closer to God continuously. Humanistic Sufism also teaches to synergize between the world-hereafter, the soul-body, innersoul, God-creature, social-individual, Sharia-nature. It is this moderate attitude which seeks to develop humanistic Sufism which later leads to the formation of social piety and spiritual piety that very relevant to the life of post modern people who are currently experiencing a social and spiritual crisis. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Kajian Agama dan FilsafatVolume 19, Nomor 1, April 2020 EDITOR-IN-CHIEF Abdul Hakim Wahid EDITORIAL BOARD Yusuf Rahman Kusmana Lilik Ummi Kaltsum Media Zainul Bahri Kautsar Azhari Noer Rd. Mulyadhi Kartanegara Muhammad Amin Nurdin Ismatu Ropi Rifqi Muhammad Fatkhi EDITORS Agus Darmaji Edwin Syarif Nanang Tahqiq Eva Nugraha Dadi Darmadi Syaiful Azmi ASSISTANT TO THE EDITORS M. Najib Tsauri Editorial Office Faculty of Ushuluddin Building - 2nd Floor R. Jurnal - Jl. Ir. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Phone/fax +62-21-7493677/+62-21-7493579 Email jurnalrefleksi / / Website Refleksi p-ISSN 0215-6253; e-ISSN 2714-6103 is a journal published by the Faculty of Ushuluddin Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta, incooperation with Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin HIPIUS. The Journal specializes in Qur’an and Ḥadīth studies, Islamic Philosophy, and Religious studies, and is intended to communicate original researches and current issues on the subject. This journal welcomes contributions from scholars of related disciplines. Table of Contents Articles 1-26 Menjawab Keraguan Maurice Bucaille tentang Kesesuaian Hadis dan Sains Ahmad Fudhail 27-46 Penyimpangan Penafsiran dalam Tafsīr Al-Tsa’labī dan Al-Kashshāf Menurut Husain Al-Dhahabī Ali Thaufan Dwi Saputra 47-68 I’jaz Ilmy Al-Qur’ān dalam Penggunaan Kata Sama’ dan Baṣar Anzah Muhimmatul Iliyya 69-92 Konsep Jilbab Masa Klasik-Kontemporer Studi Komparatif Kitab Tafsir Al-Misbah dan Kitab Tafsīr Al-Kabīr Farida Nur Afifah, Siswoyo Aris Munandar 93-116 Studi Kenabian Muhammad Perspektif Michael Cook Mohamad Baihaqi Alkawy 117-140 Tasawuf Humanistik dan Relevansinya terhadap Kehidupan Sosial Spiritual Masyarakat Post Modern Abad Global Telaah Atas Pemikiran Tasawuf Said Aqil Siradj dan Muh. Amin Syukur Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 117 DOI Tasawuf Humanistik dan Relevansinya terhadap Kehidupan Sosial Spiritual Masyarakat Post Modern Abad Global Telaah Atas Pemikiran Tasawuf Said Aqil Siradj dan Muh. Amin Syukur Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal Universitas Dinamika Surabaya, IAI Uluwiyah Mojokerto muvid haykalstuned Abstract The modern era which is now stepping on the industrial revolution era has caused the human condition to change rapidly, they are “tempted” by technological sophistication so that they slowly forget and leave religion God which ultimately leads to social and spiritual problems in the midst of society in addition to moral problems that cannot be solved with any technological sophistication. The focus of this research is to analyze and find a solution to solve this problem through the concept of humanistic Sufism which was initiated by Said Aqil Siradj and Muh Amin Syukur. The findings produced are that humanistic Sufism Said Aqil and Amin Syukur are Sufism that teaches humans to be active in social life, pro-active to social problems, politics, economics, nationality, please help, tolerance, as well as to draw closer to God continuously. Humanistic Sufism also teaches to synergize between the world-hereafter, the soul-body, inner-soul, God-creature, social-individual, Sharia-nature. It is this moderate attitude which seeks to develop humanistic Sufism which later leads to the formation of social piety and spiritual piety that very relevant to the life of post modern people who are currently experiencing a social and spiritual crisis. Keywords Said Aqil, Amin Syukur, Humanistic Sufism, Social Spiritual, Post Modern Society Abstrak Era modern yang sekarang menginjak pada era revolusi industri telah menyebabkan keadaan manusia berubah secara cepat, mereka “tergoda” dengan kecanggihan teknologi sehingga perlahan melupakan dan meninggalkan agama Tuhan yang pada akhirnya menimbulkan problem sosial spiritual di tengah masyarakat di samping problem moral yang tidak bisa diselesaikan dengan kecanggihan teknologi apa pun. Fokus penelitian ini ialah menganalisis dan menemukan sebuah solusi untuk memecahkan masalah tersebut melalui konsep tasawuf humanistik yang digagas oleh Said Aqil Siradj dan Muh. Amin Syukur. Temuan yang dihasilkan adalah bahwa tasawuf humanistik Said Aqil dan Amin Syukur ialah tasawuf yang mengajarkan manusia untuk aktif di kehidupan sosial, pro aktif terhadap problem sosial, politik, ekonomi, kebangsaan, tolong menolong, toleransi, di samping mendekatkan diri kepada Allah secara kontinu. Tasawuf humanistik juga mengajarkan untuk menyinergikan antara dunia-akhirat, rohani-jasadi, lahir-batin, Allah-makhluk, individu-sosial, syariah-hakikat. Sikap moderat inilah yang berusaha dikembangkan tasawuf humanistik yang nantinya mengarah kepada pembentukan kesalehan sosial dan kesalehan spiritual yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat post modern yang tengah mengalami krisis sosial spiritual. Kata Kunci Said Aqil, Amin Syukur, Tasawuf Humanistik, Sosial Spiritual, Masyarakat Post Modern 118 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Pendahuluan Era global abad 21 M ini ditandai dengan munculnya berbagai kemajuan, pengetahuan, teknologi informasi, peradaban dan gaya hidup baru serta paradigma baru yang tidak jarang menimbulkan problem kehidupan masyarakat itu sendiri. Kemajuan zaman membuat masyarakat post modern tergiur dengan berbagai kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang yang hal itu tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat, akhlak yang tinggi dan jiwa yang bersih. Akhirnya, mereka tenggelam ke dalam sebuah paradigma pragmatis, hedonis, materialis, individualis, liberal, bahkan sekuler. Perlahan agama mulai ditinggalkan dan dilupakan, mereka beralih kepada teknologi dan ilmu pengetahuan yang dianggap mampu memecahkan, memenuhi dan menjawab segala kebutuhan dan masalah mereka. Ini memang sebagai dampak negatif dari adanya revolusi industri yang hal itu ditandai dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi. Abad modern di Barat yang dimulai sejak abad XVII M, merupakan awal kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad modern Barat ditandai dengan adanya upaya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme, empirisme, dan positivisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang oleh Huxley disebut dengan metode ilmiah scientific methode.Dengan metode ilmiah ini kebenaran sesuatu hanya diperhitungkan dari sudut fisiologis lahiriah yang sangat bersifat keinderawian dan kebendaan. Dengan wataknya tersebut sudah dapat dipastikan bahwa segala pengetahuan yang berada di luar jangkauan indra dan rasio serta pengujian ilmiah akan ditolaknya, artinya sesuatu pengetahuan yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, maka pengetahuan itu ditolak, termasuk di dalamnya pengetahuan yang bersumber pada agama yang kadang kala bersifat immateri yang sangat membutuhkan peran demikian, abad modern di Barat adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas, independen dari Tuhan dan alam. Manusia modern sengaja membebaskan diri dari tatanan ilmiah theomorphisme, yang kemudian untuk selanjutnya membangun tatanan antropomorphisme, yakni suatu tatanan yang berpusat semata-mata pada manusia. Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkannya terputus dari nilai spiritual rohaniah. Tetapi ironisnya, seperti yang dikatakan Roger Geraudy, justru manusia modern Barat pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidupnya dan kembali kepada nilai-nilai spiritualitas yang dahulu pernah dicampakkannya. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 119 DOI Ini sebagai tanda bahwa masyarakat modern yang lahir dari ideologi’ renaissance periode kebangkitan kembali yang lebih mengedepankan rasionalitas akal dan melupakan peran wahyu’, sehingga mereka mengalami kepincangan intelektual dan spiritual yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Akibatnya, mereka memisahkan diri dari agama untuk bisa bebas, mereka menjadi manusia yang menganggap dirinya bisa berdiri sendiri, bisa mengentaskan berbagai masalah dunia dan bisa terbang’ tanpa embel-embel agama. Dengan demikian, era kebangkitan kembali ini secara esensi merubah menjadi era keruwetan dan kegelapan bagi manusia abad modern. Era Globalisasi adalah masa yang ruwet’ di mana terjadi proses transformasi yang cepat dan tanpa batas di seluruh penjuru dunia dalam waktu yang singkat sehingga meruntuhkan semua batas-batas di segala bidang. Selain memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia, dengan ketersediaan segala fasilitas dalam menunjang aktivitas kehidupan mereka, bersamaan dengan itu muncul pula praktik-praktik kehidupan materialisme dan hedonisme. Manusia dalam memenuhi keinginannya cenderung menghalalkan segala cara tanpa peduli samping kanan-kirinya yakni berkenaan dengan hak orang dari itu semua adalah terjadinya kekeringan spiritual yang menyerang manusia abad global ini, bukan hanya di daerah perkotaan tapi sudah merambat sampai pedesaan. Pada titik inilah ilmu tasawuf memiliki peluang besar untuk dijadikan sebuah referensi dan solusi dalam menangani persoalan tersebut. Lahirnya era globalisasi menandakan bahwa manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Setiap usaha dan tindakan yang dilakukannya merupakan usaha untuk selalu berkembang, maju satu langkah dari satu keadaan menuju keadaan berikutnya, dari satu fase ke fase selanjutnya. Transformasi ini kemudian disebut tindakan manusia yang selalu berisi perubahan-perubahan dari zaman ke zaman menuju ke arah yang maju atau modern, seperti sekarang ini. Era modern khususnya abad ini 21 M yang terus berkembang dewasa ini, yang berasal dari Barat yang didukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang, setidaknya sejak masa renaissance dan aufklarung ternyata, di samping memberikan dampak positif juga melahirkan dampak negatif, seperti sekularisme, hedonisme, materialisme, individualisme serta keterasingan yang melanda diri umat manusia. Hal ini sebagai akibat dari modernisasi yang disokong oleh ilmu pengetahuan’ yang bermuara pada rasionalisme secara berlebihan mendewakan akal dan berujung pada penyepelean’ peran-fungsi agama hingga lahir paham tersebut bermula sejak dibukanya kran pemikiran rasional oleh Rene Descartes 1596-1650, yang sering disebut bapak filsafat modern, yang ditandai 120 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI dengan adanya Jules Michelet dalam Ahmad Tafsir, yang merupakan sejarawan Perancis yang masyhur mengatakan bahwa Renaissance ialah priode penemuan manusia dan dunia, yang merupakan kelahiran spirit modern dalam transformasi idea dan lembaga-lembaga, renaissance menandai perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan bagi bangsa Barat Eropa sampai muncul abad utama renaissance ialah humanisme, individualisme, empirisme, rasionalisme, dan lepas dari agama sekularisme. Manusia tidak mau di atur oleh agama Kristen, Gereja. Hasil yang diperoleh dari watak ini ialah pengetahuan rasional, lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Humanisme menghendaki ukuran kebenaran adalah manusia, karena manusia merasa mampu mengatur dirinya dan dunia. Meskipun tanpa agama dan Tuhan, manusia mampu dan sanggup untuk melakukan demikian, sehingga mereka lama kelamaan tidak bisa mempertahankan nilai-nilai dasar tauhid yang ada pada dirinya. Karena nilai-nilai tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan umat Islam dan mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan perilaku dan keyakinan yang kuat dalam proses transformasi kehidupan sehari-hari umat Islam dan sistem sosialnya. juga mengatakan bahwa manusia modern telah mengalami anomi, yaitu suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini. Mereka juga sudah tidak menghiraukan persoalan metafisik tentang eksistensi diri manusia, asal mula kehidupan, makna dan tujuan hidup di Jagad ini. Kecenderungan ini terjadi akibat proses rasionalisasi yang menyertai modernitas telah menciptakan sekularisme kesadaran yang memperlemah fungsi kanopi suci agama dari domain kehidupan para pemeluknya dan menciptakan suasana chaos, atau ketidakberartian hidup pada diri manusia modern. Ini yang menyebabkan agama hilang dalam diri manusia secara eksistensi dan esensi, akibatnya mereka mengalami kehilangan visi keilahian. Untuk itu, tasawuf humanistik hadir dalam rangka menjawab problematik kehidupan sosial spiritual masyarakat post modern abad 21 M. Mengingat, tasawuf sebagai jalan alternatif yang tepat dalam mengobati rohani masyarakat post modern yang mana ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu menjawab problem rohani mereka tersebut. Ini sebagai langkah untuk mengembalikan mereka ke jalan keilahian. Secara ontologis, para sufi lebih mempercayai dunia spiritual sebagai dimensi hidup yang lebih hakiki dan riil, dibanding dengan dunia jasmani. Meski keberadaan ruh spiritual tidak kasat mata, tetapi diyakini lebih utama dibanding badan material yang dapat dirasakan secara inderawi. Status ontologis Tuhan yang bersifat spiritual, para sufi berkeyakinan bahwa Dia-lah satu-satunya realitas sejati, Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 121 DOI “asal” sekaligus “tempat kembali,” alpha dan omega. Hanya kepada-Nya para sufi mengorientasikan jiwanya. Dia-lah buah kerinduan dan kepada-Nya semua akan berpulang untuk selamanya. Jika dipahami secara tekstual, pandangan seperti ini seolah menempatkan agama sebagai dimensi yang bertentangan’ dengan kegiatan sosial-ekonomi. Seluruh aktivitas yang mengarah pada pencarian hal duniawi kekayaan dipandang negatif dan tidak sesuai dengan dimensi spiritualitas. Padahal, ada sisi di mana orang justru dapat menjadikan profesinya sebagai jalan menuju kepada Allah. Asalkan setiap apa yang menjadi aktivitas kesehariannya dilaksanakan berdasarkan tuntunan al-Ghazālī 1058-1111, dianggap sebagai salah satu tokoh yang berhasil mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Ia menawarkan sufisme yang dinamis dan kreatif, dengan melihat kehidupan sebagai proses untuk mencapai penyempurnaan diri yang harus dilalui melalui aktivitas yang kreatif. Pandangan ini cukup banyak mempengaruhi pandangan dan praktik hidup sufi besar dalam Islam. Beberapa di antara ialah Muḥy al-Dīn Ibn Arābī 1165-1240 yang lebih banyak membahasa tentang perwujudan Tuhan secara keseluruhan alam nyata dan alam gaib. Kemudian ada juga al-Sya’rānī wafat 973/1585, yang memiliki pandangan bahwa hidup yang baik itu terletak pada pengabdian seseorang terhadap orang menjadi landasan tasawuf humanistik untuk mendidik manusia menjadi insan yang spiritual dekat dengan Allah dan insan yang secara sosial baik kepada makhluk. Tanggung jawab vertikal dan horizontal inilah yang berusaha diharmoniskan dan disinergikan oleh tasawuf humanistik melalui konsep pemikiran Said Aqil Siradj dan Muh Amin Syukur. Melalui kedua konsep tasawuf mereka berdua diharapkan menjadi solusi bagi kehidupan krisis sosial spiritual masyarakat post modern abad global. Untuk itu, dalam kajian ini penulis berusaha menganalisa dan menemukan relevansi tasawuf humanistik Said Aqil Siradj dan Muh. Amin Syukur atas krisis sosial spiritual masyarakat post modern melalui kajian pustaka dengan mengumpulkan berbagai dokumentasi, artikel, jurnal maupun hasil penelitian dan referensi yang terkait dengan hal tersebut. Temuan dan Analisis A. Konsep Tasawuf Humanistik Said Aqil Siradj Dalam pemikiran sufistik Kia Said Aqil Siradj menunjukkan bahwa titik puncak kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam dan menyelaminya dengan penuh kekhusyukan dan keistikamahan yang kuat sehingga bersikap arif dan bijaksana al-ḥikmah dalam segenap pemahaman dan penafsiran itu QS. al-Jumū’ah 2. Di sinilah perlunya mengedepankan aspek sufistik dalam beragama, yaitu aspek esoteris; ruhaniah dari Islam. sisi positif dari pendekatan sufistik atau tasawuf ini adalah pemahaman 122 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI keislaman yang moderat serta bentuk dakwah yang mengedepankan qaulan kariman’ perkataan yang mulia-halus penuh kelembutan dan keramahan tidak frontal, qaulan ma’rufa’ perkataan yang baik, qaulan maisura’ perkataan yang pantas, qaulan layyinan’ perkataan yang lemah lembut, qaulan tsaqila’ perkataan yang berbobot dan qaulan sadidan’ perkataan yang benar; lurus tidak menggandung provokasi sebagaimana yang diamanatkan dalam al-Qur’ ia menambahkan bahwa tasawuf tidak dapat dipisahkan dari dalam Islam, sebagaimana halnya nurani dan kesadaran tertinggi juga tidak dapat dipisahkan dari Islam. Islam bukan dimaknai sebuah fenomena sejarah yang dimulai sejak tahun yang lampau. Namun, Islam merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri dan ketundukan al-inqiyad seperti kata Islam itu sendiri yang memiliki arti ketundukan dan kepasrahan. Tasawuf adalah intisari ajaran Islam yang membawa kesadaran manusia seperti itu. Dalam hal ini pemikiran Said Aqil Siradj mengarah pada jiwa sosial tasawuf dalam perbaikan budi pekerti dan moralitas sebagai hal utama dari pemahaman Islam secara kaffah. Yang itu tampak pada cara dakwah Islam yang ramah, santun dan lemah lembut yang dicontohkan oleh Nabi saw., pendekatan akhlak yang digunakan dalam menyebarkan, mengajarkan dan mengenalkan ajaran Islam sehingga mudah diterima oleh semua kalangan. Artinya, ini masuk wilayah tasawuf yang mengedepankan akhlak; moral dibanding fisik; perang dalam mengenalkan Islam. Dakwah sebagai hubungan sosial antara pendakwah dengan masyarakat yang didakwahi, sehingga tasawuf tidak lepas dari unsur-unsur sosial yang selalu menebarkan kedamaian, harmonisasi dan persaudaraan antar umat manusia. Kaum sufi adalah mereka yang bersemangat untuk mengembalikan pesan yang orisinal dan sakral yang dibawa oleh Nabi saw. Hal ini merupakan kesadaran spontan dari ketulusan individu-individu Muslim untuk menyingkap jalan kenabian yang sejati. Mereka mendapat spirit cahaya nurani melalui gerakan yang diorganisasikan. Seorang sufi adalah penegak dan penjunjung tinggi pesan-pesan Islam. Persaudaraan yang mengikat kalangan sufi adalah sebuah realitas tanpa banyak koordinasi maupun organisasi yang bersifat lahiriah. Realitas tersebut lahir dari proses ibadah yang ikhlas dan sifat-sifat luhur dalam hati mereka serta adanya kesatuan sikap menerima hukum kenabian yang bersifat lahiriah yang berupa syariat. Perlu dipahami, bahwa kesufian adalah wilayah yang menghubungkan dimensi lahiriah dan batiniah. Dan pengamalan sufi ini hanya dapat dialami dalam kedirian batiniah lanjut, Said Aqil menyatakan bahwa cakupan tasawuf tidak hanya sekedar etika semata, melainkan juga estetika, keindahan. Tasawuf jika hanya bicara soal baik-buruk, tapi juga sesuatu yang indah. Ia selalu terkait dengan jiwa, ruh dan Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 123 DOI intuisi. Ia tidak hanya membangun dunia yang bermoral, tapi juga sebuah dunia yang indah dan penuh makna. Tasawuf tidak hanya berusaha menciptakan manusia yang hidup dengan benar, rajin beribadah, berakhlakul karimah, namun juga bisa merasakan indahnya hidup dan nikmatnya ibadah dzauq. Tasawuf juga berupaya menjawab persoalan esensial mengapa manusia berakhlak baik. Apabila etika dapat melahirkan semangat keadilan dan kemampuan merespons segala sesuatu dengan tepat, tasawuf dapat menumbuhkan makna dan nilai, serta menjadikan tindakan dan hidup manusia lebih luas dan kaya bukan statis dan semua sepakat tentang pentingnya etika dan moralitas ini. Ia merupakan pranata fundamental dalam penataan masyarakat ijtimaiyah. Kondisi carut marut bangsa ini dengan segudang masalah sosial, ekonomi, kultural, budaya, maupun agama ternyata tidak hanya bisa dipahami secara teknik-mekanis. Aspek etika dan moralitas akhlak ternyata perlu mendapat perhatian yang serius atau perlu dilirik oleh berbagai kalangan untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Karena pada hakikatnya, moralitas memegang kunci penting dalam segala hal, dari hulu ke hilir atau dari yang berskala besar hingga ke yang berskala kecil remeh. Sehingga peran tasawuf sebagai pabrik’ yang membentuk moralitas harus menjadi sebuah solusi dan pijakan bagi semua kalangan masyarakat agar tercipta suasana yang indah, damai, beradab dan berkemajuan. Oleh karenanya pelatihan dan penjelajahan spiritual harus terus menerus dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan tak terputus istikamah hingga moralitas tersebut terbentuk sempurna yang menjadikan manusia tersebut insan kamil’.Hal ini menegaskan bahwa tasawuf sosial yang dikenalkan Said Aqil menambah khazanah baru dalam dunia tasawuf terlebih dalam kehidupan modern yang serba digital era Revolusi Industri untuk selalu mengedepankan moralitas dan akhlak mulia sebagai kunci utama dalam membangun dan memajukan aspek pendidikan, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya. Agar tidak terjadi berbagai ketimpangan dan masalah-masalah berkelanjutan. Kemudian, tasawuf sosial juga berperan untuk merespons dan memfilter berbagai paham yang masuk, gaya hidup yang lagi booming’ dan paradigma yang kebablasan’ yang membuat kehidupan manusia kacau dan menimbulkan masalah baru di tengah masyarakat. Pendekatan tasawuf sosial adalah upaya terus menerus melakukan latihan-latihan spiritual tanpa henti dalam sisi ruhani, kemudian sisi jasmani ia selalu menawarkan opsi-opsi yang positif untuk menghadapi berbagai masalah atau problem dan juga membentengi manusia dari jeratan pengaruh yang menyesatkan dan menjauhkan manusia dari jalan kebenaran. Tasawuf memiliki potensi kreatif sebagai arsitek dalam merancang kehidupan dengan mengimplementasikannya melalui dua dimensi yang saling beriringan. 124 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Yakni implementasi moral yang memiliki orientasi keilahian yang diterjemahkan dan dikaitkan dengan orientasi praktis untuk menciptakan kedamaian di antara manusia. Dalam kondisi seperti ini, maka ketika individu melakukan suatu kebaikan moral dalam komunitas, ia tidak semata-mata hanya merasakan sebagai tuntutan hukum normatif dengan segala sanksi yang mengiringinya, tapi juga menghayati sebagai kebaikan yang berasal dari semangat intuisinya. Dengan kata lain adalah menghayati norma-norma dengan seluruh jiwanya sebagaimana ia menghayati ajaran agamanya yang bergetar karena tengah merasakan hidup bersama dalam kesatuan Tuhan. Sampai di sini, bertasawuf sesungguhnya bukan suatu penyingkapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, nilai-nilai tasawuf memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah kerja sama sosial dan menciptakan aturan moral guna mengendalikan pilihan individu. Tanpa harus didesak seorang baca sufi akan menciptakan ketertiban dengan sendirinya begitu ia bersinggungan dengan orang lain. Dengan begitu, bagi seorang sufi, ikhtiar tidak menjadinya prinsip teologis statis. Tetapi, pembumian norma- norma kolektif dalam bermasyarakat ini disadur dari pesan-pesan moral substansial ajaran nilai-nilai implementasinya, nilai-nilai tasawuf menempatkan manusia sebagai wakil khalifah dan pusat kesadaran di bawah cahaya keilahian. Hal itu tidak lepas dari konsepsi sufi bahwa manusia bertindak selaku realitas perantara dalam eksistensi tempat Allah berinteraksi dengan kosmos secara langsung yang mengembang kualitas yang melekat pada sifat-sifat Allah. Karenanya, bertasawuf pada hakikatnya menyangkut aktivitas berupa kesadaran manusia paling dalam perihal relasi manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya yang terilhami oleh kualitas asma dan sifat Allah, yang kemudian terwujud dalam tingkah laku sosialnya. Dengan begitu, bertasawuf bukan suatu penyingkapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial, sebaliknya pengejawantahannya adalah bagaimana pemahaman atas kualitas ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan untuk mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas “kebumiannya.” Dari Tuhan menuju bumi, dari zat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berpikir manusia, dari keabadian Tuhan menuju gerakan kesejarahan manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan. Kondisi itu menempatkan pancaran keilahian menjadi tidak ternafikan dalam konteks penajaman realitas kemanusiaan. Dengan bahasa lain, bertasawuf sejatinya membimbing manusia ke dalam harmoni dan kedamaian total. Interaksi kaum sufi dalam semua kondisi adalah dalam harmoni dan kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 125 DOI Jadi, masyarakat yang ingin mendalami tasawuf dengan mengambil desain tasawuf sosial berarti harus berusaha menumbuhkan aspek rohani dan jasmani yang berorientasi pada moralitas; akhlak mulia. Kebaikan budi inilah yang akan mengantarkannya kepada kedekatan secara rohani kepada Allah swt. dan menjadikannya modal dalam menegakkan sebuah kebenaran, keadilan dan kedamaian di lingkup masyarakat. Artinya, sisi rohani ia jalan aktif terus menerus mendekatkan diri kepada Allah melalui latihan-latihan spiritual, mulai dari membiasakan zikir, tafakur, munajat di malam hari, perbanyak ibadah kepada-Nya dan melatih diri untuk melemahkan unsur-unsur syahwat. Kemudian sisi jasmaninya terus menggelorakan kebaikan, kedamaian, kesejukan, amal saleh, menjalin hubungan baik kepada siapa pun dan aktif menawarkan berbagai solusi inspiratif di tengah problem yang dihadapi masyarakat. Ini mengesankan bahwa tasawuf sosial tidak lepas dalam urusan duniawi yang dianggapnya sangat penting untuk kelangsungan hidup bersama-sama. Dan juga menandakan bahwa tasawuf sosial tidak diam diri terhadap dinamika masalah yang sedang dihadapi bangsa atau masyarakat. Tasawuf sosial inilah yang menjadi wujud dari gerakan spiritual Kiai Said Aqil Siradj. Berikut penulis gambarkan sebuah tabel pemikiran tasawuf humanistik Said Aqil Siradj B. Konsep Tasawuf Humanistik Muh. Amin Syukur Pemikiran Amin Syukur mengenai tasawuf adalah bahwa pada masa sekarang tasawuf mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat dari pada masa klasik, karena kondisi dan situasianya yang lebih kompleks, sehingga refleksinya bisa berbeda. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini yakni XXI Masehi dituntut untuk lebih humanistik, empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam buka Tasawuf Humanistik Mensinergikan duniawi dan ukhrawi, spiritual dan sosial Menjunjung tinggi moralitas, keharmonisan, kebersamaan, Mengobati Krisis Sosial Spiritual Masyarakat Post Gambar 1 Konsep Tasawuf Humanistik Said Aqil 126 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI hanya sekedar reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi dan akibat dari era modern terlebih saat ini era industry era digitalisasi. Era di mana kehidupan masyarakatnya serba rasionalis, sekularis, materialis, hedonis, induvidualis dan lain sebagainya. Sikap-sikap demikian ternyata menjadi problem tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Hal-hal yang dianggap bisa memberikan kebahagiaan hidup, ketenangan hidup dan kenyamanan ternyata justru tidak mampu memberikan kepuasan hidup yang diinginkan, bahkan menimbulkan kegelisahan dalam hidup. Di mana mereka mengalami kekeringan spiritual dalam dirinya. Sehingga merasakan kehampaan dalam hidupnya. Untuk itu, Amin Syukur sebagai intelektual sufisme Muslim Nusantara menyuguhkan berbagai cara untuk melaksanakan tanggung jawab sosial tasawuf sebagai langkah penyempurnaan moral individual ke arah moral struktural sosial dengan cara berikut dari jiwa ke tubuh, dari rohani ke jasmani, dari etika individual ke politik sosial, dari meditasi ke tindakan terbuka, dari isolasi ke gerakan sosial politik ekonomi, dari pasif ke aktif dan dari kesatuan khayal ke persatuan pandangan Amin Syukur mengenai tasawuf sosial sebagai langkah untuk tidak memisahkan antara hakikat dan syariat dan pula tetap berkecimpung dalam hidup dan kehidupan duniawi, tidak memisahkan dunia dan tentang mu’amalah ijtima’iyah ini ingin mendidik jiwa salik menjadi manusia sosial yang aktif, solutif, dinamis dan mampu memberikan warna yang indah di tengah kehidupan masyarakat. Bukan menjadi seorang sufi yang acuh akan kehidupan dunia, asing akan hidup bermasyarakat dan menjauhkan diri dari problematik yang di alami oleh masyarakat. Ini tidak hanya bertentangan dengan ajaran agama Islam, namun juga tidak dibenarkan dalam ajaran tasawuf. Senada dengan penjelasan penulis di atas, Amin Syukur dalam karyanya yang lain menjelaskan bahwa sufi yang sebenar-benarnya adalah sufi yang mampu melakukan ta’āwun tolong menolong; gotong royong dengan muslim lain dan sesama manusia untuk kemajuan masyarakat. Inilah implementasi dari insan kamil. Sufi yang seperti itulah yang masuk dalam katagori neo-sufisme yang sangat menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat dari pada sufisme yang senang zuhud asketisme yang inklusif dalam kehidupan demikian, materi tentang sosial kemasyarakatan dalam tasawuf moderat ini sangat perlu untuk dipelajari masyarakat modern abad ini agar nantinya ia menjadi manusia yang mempunyai jiwa spiritual juga jiwa sosial. Ketika ia berhasil memiliki jiwa spiritual, ia tetap menjadi anggota sosial masyarakat, ia juga tetap menjadi khalifah fi al ardh yang tugasnya menjaga, merawat dan melestarikan alam semesta. Capaian jiwa spiritual tersebut akan tetap ada sampai ia wafat, bukan sirna Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 127 DOI manakala derajat ketakwaan diraihnya. Karena, ia harus senantiasa menyinergikan tugas Ilahiah, juga tugas insaniah kemanusiaan; kemasyarakatan. Tidak menjadi pribadi yang tertutup, tapi terbuka, tidak menjadi pribadi yang pendiam akan segala keadaan, tapi kritis akan dinamika sosial politik masyarakat, tidak menjauhkan diri dari masyarakat, tapi hadir di tengah-tengah masyarakat untuk membantunya mengatasi problem yang sedang di alaminya. Ini menjadi penegasan bahwa tasawuf adalah bagian dari syariat Islam, yakni perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam yang lain yakni Iman dan karenanya, bagaimana pun perilaku tasawuf sufi harus berada dalam kerangka syariat. Sehingga tepat jika Abū Yazid al-Busṭāmī mengatakan sebagaimana yang dinukil al-Qushayrī,Kita tidak boleh tergiur terhadap orang yang diberi kekeramatan, sehingga tahu betul konsistensinya terhadap syariat Islam.’ Dengan demikian, tasawuf sosial ialah tasawuf yang tidak memisahkan antara hakikat dan syariah dan juga tetap berkecimpung dalam hidup dan kehidupan duniawi-sosial, tidak memisahkan antara dunia dan akhirat. Keduanya sejalan beriringan menuju kedekatan pada sang Kuasa. Tasawuf sebagai manifestasi dari ihsan tadi, merupakan penghayatan seseorang terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk menawarkan pembebasan spiritual, sehingga ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Kemudian, Amin Syukur lebih lanjut menambahkan bahwa lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan legalisme. Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral kritik terhadap ketimpangan sosial, politik, moral, dan ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya kalangan penguasa waktu itu. Pada saat demikianlah, tampil beberapa orang tokoh untuk memberikan solusi dengan ajaran tasawufnya. Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualisasi ritual merupakan pembenahan dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan menandakan bahwa tasawuf tampil sebagai reaksi atas berbagai masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Tasawuf tidak mengajarkan kejumudan statis namun reaktif dan aktif menjawab problematik umat sesuai dengan kondisi dan masanya. Oleh karenanya, tasawuf sosial hadir untuk menjadi penengah di antara masalah yang sedang melanda selain sebagai alat’ untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Amin Syukur dalam hal ini ingin memberikan pesan pada masyarakat bahwa tasawuf mempunyai tugas dan peran sosial bukan hanya peran spiritual semata sehingga tasawuf tampil dengan dua sayap yakni aspek lahir dunia; syariah dan aspek batin akhirat; hakikat. Keduanya berjalan beriringan, yang aspek lahir untuk membantu permasalahan umat yang sedang terjadi sehingga 128 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI bersifat aktif dan reaktif. Kemudian, aspek batin untuk membantunya meraih kedekatan, ketenangan dan kebahagiaan rohani bersama Allah swt. Tasawuf tidaknya statis, ia dinamis menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang sedang berlangsung. Tasawuf pada masa Abū Dzar, Ḥasan al-Baṣrī sampai kepada al-Ghazālī memang cenderung menarik diri dari duniawi karena disebabkan faktor runtuhnya moral, budaya, kekuasaan yang zalim, kehancuran ilmu dan amal. Dengan demikian, maka tampaklah bahwa tasawuf membumi dan aplikatif terhadap problem yang dihadapi pada masanya. Kemudian, pada abad 21 ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistik, empirik dan fungsional sehingga ia layak disebut tasawuf kontekstual’. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi pelarian’ dari dunia yang kasat mata’ menuju dunia yang spiritual mistik’ bisa dikatakan sebagai reaksi dan tanggung jawab sosial, yakni kewajiban dalam melakukan tugas dan merespons terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang sedang Amin Syukur di atas menandakan bahwa tasawuf selalu merupakan bagian kehidupan manusia. Air-airnya yang menyucikan senantiasa membersihkan ilmu dan pengetahuan manusia. Ibarat, sungai yang bergemuruh, tasawuf tidak pernah berhenti mengalir. Karena itu, akan mustahil untuk membatasinya para era atau abad tertentu, atau menganggapnya sebagai hal yang berbeda di sepanjang berbagai tahapan kehidupan manusia. Meskipun fakta bahwa perbedaan-perbedaan lahiriah sudah pasti terjadi, dan kita harus mengakui satu hal penting, yakni tasawuf merupakan suatu esensi unik yang sangat tidak terpengaruh oleh perbedaan-perbedaan pada manusia, talenta-talenta, emosi-emosi serta faktor-faktor geografis atau pun historis. Kemudian tasawuf memiliki dua aspek yakni aspek praktis yang dapat dicapai amal saleh dan aspek teoritis yang dapat dipahami dzauq; qalbiyah. Ini menegaskan bahwa Tasawuf memberikan warna dalam setiap kehidupan, zaman, masa, maupun era untuk keberlangsungan kehidupan manusia di dunia yang menyangkut paradigma, pola hidup, kebutuhan, tantangan hidup, solusi atas problem yang hadapi dan jalan petunjuk bagi mereka untuk dekat dengan Tuhan. Tasawuf sosial yang dibangun Amin Syukur memberikan warna baru bagi kehidupan rohani dan sosial. Ia hadir sebagai solusi ukhrawi dan juga duniawi bagi masyarakat. Sehingga, tasawuf sosial dimaknai sebagai suatu terobosan bagi masyarakat modern di era milenial sekarang ini untuk menjadi obat’ spiritual yang kering akan hidayah Allah disebabkan karena hidup yang penuh hedonisme, materialisme, individualisme. Kemudian menjadi solusi’ bagi berbagai ketimpangan- Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 129 DOI masalah sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan budaya bahkan agama, bahwa semua itu bersumber dari satu yakni sikap’. Sikap bermuara kepada kepribadian yang bersumber dari qalb hati. Hati yang bermasalah inilah yang menimbulkan berbagai ketimpangan dan masalah-masalah di berbagai bidang. Tasawuf hadir untuk memperbaiki hati tersebut agar pribadinya baik dan sikap yang dilahirkan mulia. Dan ketimpangan-ketimpangan tersebut bagi para sufi yang berkiblat kepada tasawuf sosial, mereka bergerak aktif untuk membantu masyarakat, tidak berdiam diri atau acuh. Mereka juga ikut membantu orang lain yang sedang terkena musibah, kesulitan atau sejenisnya baik berupa saran, nasehat, jasa, sumbangan pikiran atau materi. Artinya, dalam desain tasawuf sosial ini, para sufi, mursyid dan tokoh tasawuf ikut ambil bagian andil dalam mengentaskan masalah-masalah yang menerpa masyarakat tersebut. Bahkan pemikiran tasawuf moderat Amin Syukur mengarah kepada terbentuknya zikir sosial. Tidak hanya zikir bi al-lisān maupun bi al-qalb saja. Mengenai hal itu, ia menjelaskan bahwa zikir tersebut terdiri dari tiga bentuk, di antaranya Pertama, zikir dengan lisan. Zikir yang diperintahkan Allah swt. itu bisa dilakukan dengan lisan bi al-lisān, yakni dengan mengucapkan kalimah ṭayyibah seperti kalimah tasbih, tahmid, tahlil, istigfar, hauqalah atau dengan bentuk kalimah ṭayyibah kalimah yang baik lainnya. Dalam kaitan ini Allah swt. memerintahkan melalui firman-Nya “Dan sebutlah nama Tuhanmu di waktu pagi dan petang” QS. al-Insān 25. Zikir tingkat ini adalah zikir pada tahapan taraf/tingkatan elementer, ucapan lisan untuk membimbing hati, agar selalu ingat kepada-Nya. Setelah seseorang itu terbiasa istikamah melakukan zikir, maka dengan sendirinya hati yang bersangkutan menjadi konek ingat Allah. Artinya, ketika seseorang sudah menjalankan zikir bi al-lisān secara teratur, istikamah dan berlanjut terus-menerus maka dapat menembus membuka hati untuk mengingat Allah swt. sehingga tidak hanya mengingat Allah di lisan namun juga di hati. Dengan kata lain, zikir lisan akan naik pada tingkat zikir hati jika dilaksanakan dengan baik dan secara terus menerus tekun; istikamah. Kedua, zikir dengan hati. Amin Syukur melanjutkan pembahasannya dalam hal ini terkait dengan zikir bi al-qalb. Bahwa Ingat asma Allah swt., dalam hati itu merupakan sikap ingat, tanpa menyebut atau mengucapkan sesuatu. Zikir seperti ini juga diperintahkan oleh Allah swt., dan dalam posisi ini seseorang secara istikamah atau kontinu selalu ingat kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya “Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya.” QS. al-Aḥzāb 41. 130 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Zikir hati ini masih dalam hitungan kuantitatif, setelah zikir hati, maka akan naik menjadi zikir ruh, yang tidak lagi membutuhkan hitungan. Artinya zikir kepada Allah sudah mendarah daging dalam setiap gerak, aktivitas, bahkan hembusan nafasnya. Ketika seseorang sudah dapat mengamalkan zikir hati dengan baik, lama kelamaan ia akan naik pada tingkatan zikir al-rūḥ, di mana asma Allah-lah yang terpaut dalam hati dan jiwanya. Tidak ada sesuatu yang terbesit kecuali asma Allah dan Allah swt. Namun perlu diingat bahwa dalam mengamalkan zikir tasawuf untuk bisa sampai pada tingkat puncak, tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Artinya perlu melakukan usaha yang giat dan sungguh-sungguh mujāhadah dan melalui latihan-latihan spiritual yang intens riyāḍah agar zikir yang kita lakukan dapat sampai terkoneksi kepada Zat Allah swt. sehingga usaha kita tidak sia-sia. Ketiga, zikir sosial. Bentuk zikir yang ketiga ialah dengan aktivitas sosial’, yakni dengan menginfakkan sebagian harta untuk kepentingan sosial, melakukan hal-hal yang berguna bagi pembangunan bangsa dan negara serta agama. Zikir ini merupakan refleksi dari pengamalan zikir lisan dan zikir hati. Zikir sosial ini manfaatnya lebih kelihatan nyata real dari pada bentuk zikir pertama lisan dan kedua hati. Jika zikir yang pertama dan kedua bersifat individual yakni arah vertikal ḥabl-min Allāh, maka zikir model ketiga ini lebih bersifat sosial yakni arah horizontal habl-min al-nās yang mempunyai kepekaan dan kepedulian sosial kemasyarakatan. Model zikir ini yang paling banyak disinggung dalam al-Qur’ arti bahwa al-Qur’an memerintahkan kita untuk senantiasa menabur kebaikan, kemanfaatan dan kedamaian di bumi dengan senantiasa membantu, menolong dan menjaga persatuan antar sesama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makna yang terkandung dalam al-Qur’an sebagaimana penjelasan di atas inilah yang ditangkap oleh Amin Syukur sehingga ia memperkenalkan istilah zikir sosial sebagai aktualisasi dari pengamalan zikir lisan dan zikir hati. Menurut penulis, ini bisa sebagai indikator bagi para salik yang mengarungi perjalanan tasawuf sufi, seberapa tingkat keberhasilan zikirnya baik lisan maupun hati itu bisa dilihat dari seberapa peka dan peduli ia dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini, tampaknya Amin Syukur tidak ingin memisahkan tasawuf dengan kehidupan atau masalah sosial, malah sebaliknya ia ingin membangun tiang tasawuf untuk kepentingan sosial bukan kepentingan rohaniah batin saja. Kepentingan rohaniah sebagai tujuan dari tasawuf, namun kepentingan sosial sebagai aktualisasi dampak/efek dari wujud perjalanan rohaniah yang telah diarunginya tersebut. Semakin dalam perjalanan rohaniahnya kepada Tuhan maka semakin peka dan pedulinya ia dengan makhluk sekitarnya kondisi sosial. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 131 DOI Oleh karenanya, dapat pandangan Amin Syukur tersebut dapat disimpulkan bahwa tasawuf sosial bukan tasawuf yang isolative, tetapi aktif di tengah-tengah pembangunan masyarakat, bangsa dan negara sebagai tuntutan tanggung jawab sosial tasawuf pada abad 21 M ini. Tasawuf sosial bukan lagi bersifat uzlah dari keramaian, namun sebaliknya harus aktif mengarungi kehidupan ini secara total, baik dalam aspek sosial, politik, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu, peran para sufi di masa modern ini seharusnya lebih empirik, pragmatis dan fungsional dalam menyikapi dan memandang kehidupan ini secara penulis gambarkan peta pemikiran tasawuf humanistik Muh. Amin Syukur dalam bentuk tabel di bawah ini C. Relevansi Tasawuf Humanistik Said Aqil Siradj dan Muh Amin Syukur terhadap Kehidupan Sosial Spiritual Masyarakat Post Modern Abad Global Tasawuf Humanistik yang digagas oleh Said Aqil dan Amin Syukur memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kondisi sosial spiritual post modern abad 21 M ini. Masyarakat post modern yang telah kehilangan visi keilahiannya yang berdampak pada aspek spiritualnya dan mereka juga kehilangan jati dirinya sebagai makhluk sosial yang berdampak pada aspek sosialnya membuatnya tidak hanya jauh dari Allah, namun juga jauh dari kerumunan masyarakat. Bukan hanya mengalami kegelisahan rohani, namun juga mengalami kondisi mental yang cenderung egois, individualis yang berakibat pada diharmonisasi dengan warga masyarakat. Oleh karenanya, konsep tasawuf humanistik yang digagas Said Aqil dan Sosialis, humanis bukan Isolatif, egois Peka dan Peduli terhadap masalah-masalah sosial Aktif Ibadah dan aktif menolong Tasawuf Humanistik lahir sebagai upaya alternatif untuk menghilangkan krisis sosial spiritual masyrakat post modern abad global Gambar 2 Konsep Pemikiran Tasawuf Humanistik Muh Amin Syukur 132 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Amin Syukur ini sebagai jalan untuk mengobati sisi spiritual dan sosial masyarakat yang nantinya akan berdampak pada sikap, kepribadian dan moralitas mereka. Perlu diketahui, bahwa tasawuf humanistik yang digagas Said Aqil dan Amin Syukur bukan tasawuf yang mengacuhkan dunia, mengasingkan diri di tengah masyarakat, bukan juga yang fokus pada sisi rohani, bukan juga tasawuf yang mengajarkan kemiskinan, kefakiran dan sejenisnya. Namun, tasawuf yang proaktif, optimistis, humanistik, yang mengedepankan sikap moderat tawāsuṭ, tawazun seimbang, ta’āwun saling menolong, i’tidal proporsional, tasāmuḥ toleransi dan ṭuma’ninah tenang; damai serta taat. Kemoderatan tasawuf humanistik ini sebagai strategi untuk membangun masyarakat yang seimbang, yakni masyarakat yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi-ukhrawi, rohani-jasadi, syariah-hakikat, individu-sosial, agama-negara, sehingga akan melahirkan hubungan yang indah, harmonis, dan saling bersinergi satu sama lain. Akhirnya, menjadi insan yang berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Tasawuf merupakan keilmuan yang mengkaji tentang proses memperindah akhlak dalam bentuk lahir dan penyucian jiwa secara batin untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Pada konteks modernisme yang lebih luas, tasawuf juga dihubungkan dengan ilmu psikologi dan ilmu umum lainya. Fenomena ini menggambarkan bahwa ilmu tasawuf dapat dimaknai secara komprehensif dengan berbagai pendekatan yang kemudian akan menghasilkan berbagai macam inovasi dalam pengembangan pengetahuan tidak terkecuali pendidikan. Ilmu tasawuf dapat diterapkan dan diaplikasikan melalui pendekatan pendidikan karakter yang mengedepankan penanaman nilai. Dinamika kehidupan modern tumbuh seiring dengan kebutuhan manusia yang terus berkembang. Kebutuhan yang terus berkembang selanjutnya akan menjadi bumerang bagi manusia dan kelompoknya bila tidak mampu dikemas dalam konteks zaman inilah yang harus dilandasi dengan nilai-nilai sufistik, tanpa harus bersikap acuh terhadap dinamika zaman. Sebagai contoh praktik kaum sufi pada tarekat syadziliyah. Mereka senantiasa mengamalkan amaliah-amaliah spiritual berupa; istighfar, ṣalawat ummi, kalimah tawḥid, doa, waṣilah dan rabiṭah, hal demikian secara perlahan memiliki pengaruh atau dampak positif terhadap kesalehan spiritual dan ritual. Seperti terlihat pada meningkatnya rutinitas dan disiplin mereka penganut tarekat dalam menjalankan ibadah wajib maupun sunah, meningkatnya ketakwaan mereka kepada Allah swt. memberikan ketenangan hati dan pengaruh agar senantiasa berserah diri kepada Allah swt., baik dalam keadaan sedang mendapatkan nikmat maupun cobaan selama menjalani hidup. Maka tidak heran, jika kehidupan mereka tampak begitu ramah, tenang, dan kedisiplinan dan rutinitas pengamal tarekat tersebut dalam Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 133 DOI menjalankan ibadah wajib maupun sunah, ketakwaan, sikap tenang, dan berserah diri dalam menjalani serta menyikapi berbagai aktivitas kehidupan menjadi bukti nyatanya. Ini menampilkan bahwa pengamal tarekat tasawuf tidak hanya fokus pada masalah spiritual, ritual semata, tapi juga peka terhadap masalah sosial dan moral. Penjelasan di atas diperkuat oleh pandangan Sayyid Nur bin Sayyid Ali bahwasanya sufisme diadakan dengan tujuan sebagai berikut berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil, melepaskan diri takhallī dari penyakit-penyakit hati, mengisi diri taḥallī dengan akhlak Islam yang mulia, menggapai derajat ihsan dalam ibadah tajallī, menstabilkan akidah persahabatan ketuhanan shuhbah Ilāhiyyah, dengan maksud Allah swt. melihat hamba-hamba-Nya dengan meliputi mereka dari segala arah ilmu, kekuasaan, pendengaran, dan penglihatan-Nya, menggapai kekuatan iman yang dahulu pernah dimiliki para sahabat Rasulullah saw., menyebarkan ilmu-ilmu syariat dan meniupkan roh kehidupan kepadanya, mampu mengembalikan kepemimpinan mendunia secara global ke pangkuannya, baik peta politik maupun ekonomi, serta dapat menyelamatkan bangsa-bangsa yang ada dari alienasi dan kehancuran. Paradigma yang demikianlah yang dibangun tasawuf humanistik di tengah masyarakat abad global, ini untuk menggiring mereka kepada keaktifan terhadap masalah sosial, politik, ekonomi demi kemaslahatan umat yang lebih luas, di samping senantiasa memupuk diri dengan taqarrub, mujāhadah, riyāḍah, munajat dan murāqabah kepada Allah swt. Tasawuf sendiri merupakan ilmu yang membahas tentang penyucian jiwa, yang bersifat rohaniah. Tasawuf menggunakan pendekatan abstrak untuk memahaminya. Tasawuf sepenuhnya adalah disiplin ilmu yang berdasarkan ajaran Islam bertujuan untuk membentuk watak dan pribadi muslim menempuh insan kamil, dengan cara mengharuskan mereka melaksanakan sejumlah peraturan, tugas dan kewajiban serta keharusan tasawuf juga identik dengan kemampuan manusia dalam mengendalikan nafsu yang timbul dari dalam jiwa, sejalan dengan konsep keilmuan modern, yang secara khusus dibahas dalam ilmu psikologi tentang kecerdasan manusia, yaitu Intelegenci Quotient IQ, Emotional Quotient EQ, dan Spiritual Quotient SQ. Kecerdasan pertama berhubungan dengan intelektualitas seseorang yang dikenal dengan IQ. Seseorang yang cerdas dalam konsep IQ merupakan seseorang yang mampu memahami dan mengetahui berbagai macam ilmu pengetahuan dengan waktu yang cepat. Tentu, kecerdasan intelektualitas tidak mampu menciptakan manusia yang sempurna serta tidak akan mampu memenuhi semua keinginan yang terdapat dalam jiwa manusia dengan berbagai macam bentuk 134 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI emosinya. IQ merupakan kemampuan pemahaman dalam konteks kognitif, mulai dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kecerdasan intelektual IQ bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tentu tidak akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya. Peranan IQ hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pentingnya pengelolaan emosi bagi manusia dalam pengambilan keputusan bertindak adalah sama pentingnya, bahkan seringkali lebih penting daripada nalar, karena menurutnya, kecerdasan intelektual tidak berarti apa-apa bila emosi yang kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” Shapiro 1998. Namun demikian, menurut Rahmat Aziz dan Retno Mangestuti Emotional Intelligence pertama sekali dipopulerkan Pada tahun 1995 oleh Daniel Goleman. Dalam konsep yang dikemukakan Peter Salovey dan Aziz hakikatnya memiliki kesamaan tentang pengendalian jiwa yang lebih penting dari kecerdasan intelektual. Selain kecerdasan intelektual dan emosional, setiap individu diharapkan juga memiliki kecerdasan spiritual. Makna hidup dan pengalaman spiritual merupakan hasil tertinggi dari otak manusia. Kehilangan makna hidup dan ketiadaan pengalaman spiritual merupakan masalah utama manusia, keadaan ini berkaitan langsung dengan kondisi kesehatan manusia. Karena adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara aspek fisik, mental dan spiritual manusia, maka keadaan ketiadaan akan melahirkan kondisi-kondisi penyakit pada itu, tasawuf humanistik sebagai upaya untuk mengaktifkan dan mengoptimalkan intelektual, emosional dan spiritual masyarakat post modern sehingga bisa mengendalikan diri, mengontrol diri, menguasai hawa nafsu, dan menjaga diri dari berbagai pengaruh negatif dan juga dari berbagai berita hoax. Dengan senantiasa melakukan amaliah-amaliah spiritual seperti zikir, membaca al-Qur’an, tafakur, meditasi, salawat, salat dan puasa. Amaliah-amaliah tersebut manakala dijalankan dengan baik, sungguh-sungguh dan istikamah maka akan berdampak positif terhadap kepribadiannya sehingga akan menimbulkan sikap sosial dan moral yang baik. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 135 DOI Oleh karenanya, tasawuf sosial humanistik sesungguhnya adalah sebagai penegasan dari substansi ajaran tasawuf itu sendiri yang mengedepankan keseimbangan harmonisasi antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, atau keseimbangan harmonisasi antara hubungan manusia dengan Allah ḥabl-min Allāh dan hubungan manusia dengan sesamanya ḥabl-min al-Nās, bahkan hubungan dengan alam dan makhluk lainnya. Oleh karena itu, paradigma tasawuf sosial sebagai bentuk rekonstruksi tasawuf yang relevan dengan abad akan penulis gambarkan mengenai relevansi tasawuf humanistik Said Aqil dan Amin Syukur terhadap kehidupan sosial spiritual masyarakat post modern abad global 21 M Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut Pertama, tasawuf humanistik yang digagas oleh Said Aqil Siradj menempatkan tasawuf pada dimensi sosial dan spiritual. Artinya, tasawuf tidak hanya mengajarkan manusia untuk fokus ibadah kepada Allah, melainkan juga memperhatikan hak-hak sosial, keadaan masyarakat, bangsa dan agama. Tasawuf tidak boleh dipahami sebagai proses memutus segala hubungan selain Allah swt. Melainkan tasawuf harus dipahami sebagai pengintegrasian antara kepentingan dunia dan akhirat. Kedua, tasawuf humanistik yang juga digagas oleh Amin Syukur memberikan penegasan bahwa peran tasawuf khususnya abad 21 M bukan hanya masalah spiritual saja, tapi juga Masyarakat Post Modern 21 M gelisah, stress, putus asa, tidak bisa mengontrol diri dunia-akhirat, pribadi-sosial, agama-bangsa, Gambar 3 Relevansi Tasawuf Humanistik dengan Kehidupan Sosial Spiritual Masyarakat Post Modern abad 21 M 136 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI masalah sosial. Para sufi dan penempuh jalan tasawuf tidak boleh mengabaikan urusan duniawi, mereka harus aktif dalam membantu persoalan sosial masyarakat. Dan bukan menjadi orang yang mengasingkan diri secara total. Ketiga, relevansi antara pemikiran Said Aqil Siradj dan Amin Syukur mengenai konsep tasawuf humanistik ialah bahwa tasawuf sebagai jalan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin dengan tidak melalaikan kewajibannya sebagai khalifah Allah di bumi yang mempunyai tugas-tugas sosial, tasawuf tidak boleh diamalkan tanpa syariat yang benar, tasawuf tidak boleh digunakan hanya untuk fokus kepada masalah-masalah ukhrawi. Tasawuf mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia-akhirat, syariah-hakikat, hubungan dengan Allah juga hubungan dengan manusia, masalah spiritual dan sosial, sehingga menjadikan manusia yang moderat. Catatan Akhir Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta INIS, 1994, 44. HUxey, Methode of Scientific Investigation, New York Mcmillan Publishing, 1976, 402. M. Yasir Nasution, Spiritualitas Abad Modern; Telaah tentang Signifikansi Konsep Manusia al Ghazali, Medan 1994, 9. Roger Geraudy, The Balance Sheet of Westem Philosophy in This Century, dalam Toward Islamization of Diciplines No, 6 Malaysia the Islamic Intitute if Islamic Thought, Islamization of Knowledge Series, 1989, 397. Baca lengkapnya dalam M. Arif Khoruddin, “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern,” IAIT Kediri, Volume 27, No. 1 2016 113-130. Rusli Karim, Agama dan Masyarakat Industri Modern Yogyakarta Media Widya Mandala, 1992, 4-5. Suadi Putro, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas Jakarta Paramadina, 1998, 52. Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et,al, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, 732. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2001, 125-126. Silawati, “Pemikiran Tasawuf Hamka dalam Kehidupan Modern,” an Nida’, Volume 40, No. 2, 2015 119. Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern Surabaya PSAPM, 2003, 1. Peter L. Berger, Prymids of Sacrifice Political Ethics and Social Change, terj. Tim Iqra’ Piramida Pengorbanan Manusia Bandung Iqra’, 1983, 35. Mulyadi Kartanegara, Filsafat Etika dan Tasawuf, Jakarta Ushul Press, 2009, 90-92. Ahmad Munji, “Profesi sebagai Tarekat,” Teologia, Volume 26, No. 2 2015 184-197. Syofrianisda dan M. Arrafie Abduh, “Pengaruh Tasawuf Alghazali dalam Islam dan Kristen,” Jurnal Ushuluddin, Volume 25, No. 1 2017 69-82. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 137 DOI Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam Inspirasi bukan Aspirasi, Jakarta Mizan, 2006, 33. Said Aqil, Tasawuf., 36-37. Said Aqil, Tasawuf., 41-43. Said Aqil Siradj, “Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas Pembumian Ajaran Tasawuf”, Miqot, Volume 35, No. 2 2011 255-256. Hasan Hanafi, Islam in the Modern World Ideology and Development Kairo Egyptian Associated Company, 2000, 11. Said Aqil Siradj, “Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas Pembumian Ajaran Tasawuf”, Miqot., 256. Masalah bangsa seperti perjuangan melawan penjajah di Indonesia yang dicontohkan oleh para sufi Nusantara. Misalnya Syaikh Yūsuf al-Maqassarī yang diangkat sebagai Panglima Perang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan Kompeni Belanda. Baca lengkapnya dalam Lubis Nabilah, Syaikh Yusuf Makasar Menyingkap Segala Rahasia Bandung Mizan, 1996, 26. Kemudian Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan dan Kiyai Abdul Karim Banten tak terlepas dalam mengentaskan berbagai problem masyarakat dan politik. Baca lengkapnya dalam Ja’far Shodiq, Pertemuan antara Tarekat dan NU Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2008, 23-25. Amin Syukur, Tasawuf Sosial Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2004, 21. M Amin Syukur, Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Sosial Abad 21 Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, 112. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf., 3-6. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 13. M Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001, 43. Lihat juga Imam Ghazali Said, Kitab-kitab Karya Ulama’ Pembaharu; Biografi, Pemikiran & Pergerakan Surabaya PT Duta Aksara Mulia, 2018, 147-148. Al-Qushayrī, al-Risālah al Qushayriyah, terj. Umar al Faruq Jakarta Pustaka Amani, 2007, 103. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 12-13. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 21. Muḥammad Taqī’ Ja’farī, Positive Mysticism; Mengenal Tasawuf Positif Sebuah Pengantar, terj. Ali Yahya Jakarta Nur al Huda, 2011, 14-15. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 49. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 28. Restu Andrian, “Modernisasi Tasawuf Dalam Pengembangan Pendidikan Karakter,” Jurnal Mudarrisuna, Volume 9, No. 1 2019 36. Ova Siti Sofwatul Ummah, “Tarekat, Kesalehan Ritual, Spiritual Dan Sosial Praktik Pengamalan Tarekat Syadziliyah Di Banten,” Al A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Volume 15, No. 2, 2018 333. Ova Siti Sofwatul Ummah, Tarekat, Kesalehan Ritual, Spiritual dan Sosial, 315. Sayyid Nūr bin Sayyid Alī, Al-Tasawwuf Syar’iy Beirut Dār al-Kutūb al- Ilmiyyah, 2000, 17. M. Arif Khoiruddin, “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern”, IAIT Kediri, 117. 138 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Rahmat Aziz dan Retno Mangestuti, “Pengaruh Kecerdasan Intelektual IQ, Kecerdasan Emosional EI Dan Kecerdasan Spiritual SI Terhadap Agresivitas Pada Mahasiswa UIN Malang”, El-Qudwah, Jurnal Penelitian dan Pengembangan, Volume 1, No 1, 2006 3. Cahyo Tri Wibowo, “Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional EQ Dan Kecerdasan Spiritual SQ Pada Kinerja Karyawan”, Jurnal Bisnis dan Manajemen, Volume 15, No. 1, 2015 3. Rahmat Aziz dan Retno Mangestuti, Pengaruh Kecerdasan…, 3. Buhari Luneto, “Pendidikan Karakter Berbasis IQ, EQ, SQ”, Jurnal Irfani, Volume 10, No. 1, 2014 135. H. Ma. Achlami Hs, “Tasawuf Sosial dan Solusi Krisis Moral”, Ijtimaiyya, Volume 8, No. 1, 2015 95. Daftar Pustaka Alī, Sayyid Nūr bin Sayyid. al-Tasawwuf Syar’iy, Beirūt Dār Kutūb al-Ilmiyyah. 2000. Andrian, Restu. “Modernisasi Tasawuf Dalam Pengembangan Pendidikan Karakter” Jurnal Mudarrisuna, Volume 9 No. 1 2019. Arkoun, Muhammed. Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta INIS. 1994. Aziz, Rahmat dan Retno Mangestuti, “Pengaruh Kecerdasan Intelektual IQ, Kecerdasan Emosional EI Dan Kecerdasan Spiritual SI Terhadap Agresivitas Pada Mahasiswa Uin Malang” El-Qudwah, Jurnal Penelitian dan Pengembangan, Volume 1, No. 1, 2006. Berger, Peter L. Prymids of Sacrifice Political Ethics and Social Change, terj. Tim Iqra’ Piramida Pengorbanan Manusia. Bandung Iqra’. 1983. Geraudy, Roger. The Balance Sheet of Westem Philosophy in This Century dalam Toward Islamization of Diciplines No, 6. Malaysia the Islamic Intitute if Islamic Thought, Islamization of Knowledge Series. 1989. Hanafi, Hasan. Islam in the Modern World Ideology and Development. Kairo Egyptian Associated Company. 2000. Hs, Ma. Achlami. “Tasawuf Sosial dan Solusi Krisis Moral”, Ijtimaiyya, Volume 8, No. 1, 2015. HUxey, Methode of Scientific Investigation. New York Mcmillan Publishing. 1976. Ja’fari, Muhammad Taqi’. Positive Mysticism ; Mengenal Tasawuf Positif Sebuah Pengantar, terj. Ali Yahya. Jakarta Nur al Huda. 2011. Karim, Rusli. Agama dan Masyarakat Industri Modern. Yogyakarta Media Widya Mandala. 1992. Kartanegara, Mulyadi. Filsafat Etika dan Tasawuf. Jakarta Ushul Press. 2009. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 139 DOI Khoruddin, M. Arif. “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern” IAIT Kediri, Volume 27, No. 1 2016. Luneto, Buhari. “Pendidikan Karakter Berbasis IQ, EQ, SQ”, Jurnal Irfani, Volume 10, No. 1, 2014. Maksum, Ali. Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern. Surabaya PSAPM. 2003. Munji, Ahmad. “Profesi sebagai Tarekat” Teologia, Volume 26, No. 2 2015. Mubarok, Suliyono M. “Penafsiran Ayat-Ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak Perspektif Tafsir Sufi Al-Qushayrī”, Refleksi, Volume 18, Nomor 2, Oktober 2019. Nabilah, Lubis. Syaikh Yusuf Makasar Menyingkap Segala Rahasia. Bandung Mizan. 1996. Nasution, M. Yasir. Spiritualitas Abad Modern; Telaah tentang Signifikansi Konsep Manusia al Ghazali. Medan 1994. Nasuhi, Hamid. “Tasawuf dan Gerakan Tarekat di Indonesia Abad ke-19”, Refleksi, Vol. II, No. 1, 2000. Putro, Suadi. Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta Paramadina. 1998. Al-Qushayrī. Al-Risalah al Qusyairiyah, terj. Umar al Faruq. Jakarta Pustaka Amani. 2007. Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et.,al. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2002. Said, Imam Ghazali. Kitab-kitab Karya Ulama’ Pembaharu; Biografi, Pemikiran & Pergerakan. Surabaya PT Duta Aksara Mulia. 2018. Shodiq, Ja’far. Pertemuan antara Tarekat dan NU. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2008. Silawati, “Pemikiran Tasawuf Hamka dalam Kehidupan Modern” an Nida’, Volume 40, No. 2 2015. Siradj, Said Aqil. “Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas Pembumian Ajaran Tasawuf” Miqot, Volume 35, No. 2 2011. Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam Inspirasi bukan Aspirasi. Jakarta Mizan. 2006. Syarif, Edwin. “Etika Falsafah Islam Perspektif Kesetaraan Gender”, Refleksi, Volume 15, Nomor 2, Oktober 2016. Syofrianisda dan M. Arrafie Abduh, “Pengaruh Tasawuf Al Ghazali dalam Islam dan Kristen,” Jurnal Ushuluddin, Volume 25, No. 1 2017. Syukur, M Amin, Tasawuf dan Krisis. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2001. 140 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Syukur, M Amin. Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 1998. Syukur, M Amin. Tasawuf Sosial. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2004. Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. Bandung PT Remaja Rosdakarya. 2001. Ummah, Ova Siti Sofwatul. “Tarekat, Kesalehan Ritual, Spiritual Dan Sosial Praktik Pengamalan Tarekat Syadziliyah Di Banten,” Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Volume 15, No. 2, 2018. Wibowo, Cahyo Tri. “Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional EQ Dan Kecerdasan Spiritual SQ Pada Kinerja Karyawan” Jurnal Bisnis dan Manajemen, Volume 15, No. 1, 2015. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this M MubarokThis paper discusses the interpretation of verses of al-Qushayrī’s parent and child communication perspective. The purpose of this discussion is to explore the variety of communication with the value of the akhlāqī sufistic message between parents and children who are the object of discussion. The objects of this research are the Prophet Ibrāhīm and Ismā’il, Luqmān al-Ḥakīm and his son, Ya’qūb, Yūsuf and his brothers, Nūḥ and Kan’an. The importance of revealing the side of Sufism, many Sufis interpret the Qur’an far beyond the reading of verses in an ancient way. Laṭāif al-Ishārāt one of them, this interpretation includes moderate sufistic interpretation which is not only based on the inner meaning esoteric of the verse, but also holds to the meaning of its birth exoteric. The influence of Sufism has impli-cations in interpreting the Qur’an. Thus the Sufistic values that can be taken from the parent and child communication verses can be mapped as follows The value of tawḥid, ṣabar, maḥabbah, murāqabah, raja’, riḍa, and SyarifEtika merupakan salah satu cabang kajian dari falsafah yang mengkaji secara mendalam tentang perilaku baik teori maupun praktek. Para failusuf muslim mengkaji tentang etika ini secara mendalam dengan tetap berpegang pada teks-teks al-Qur’an. Khazanah pengetahuan Islam klasik cukup banyak yang berbicara tentang etika di antaranya Tafsir al-Qur’an, al-Hadis, Falsafah Islam, Tasawuf, Kalam. Etika sebagai sebuah kajian filosofis belum mendapat tempat yang memadai dalam falsafah Islam, karena wacana syari’ah masih mendominasi. Sebagai akibatnya, literatur tentang etika falsafah Islam sangat minim. Pada saat ini, perkembangan pengetahuan dalam berbagai aspeknya, menuntut kesetaraan peran perempuan dengan laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Dalam teori gender melihat telah terjadi ketidakadilan, yang menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai korban dari sistem tersebut. Dalam pandangan falsafah Islam masalah kesetaraan dan ketidakadilan perlu dilacak pada kajian nilai-nilai etis, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun rasional, sehingga dapat diketahui konsep manusia yang utuh dan adil baik perempuan maupun AndrianSufism is a science that examines the process of beautifying morals in the form of birth and purification of the soul spiritually to achieve happiness in the world and the hereafter. In the context of broader modernism, Sufism is also associated with psychology and other general sciences. This phenomenon illustrates that Sufism can be interpreted comprehensively with various approaches which will then produce various kinds of innovations in the development of knowledge, including education. Sufism can be applied and applied through a character education approach that emphasizes value planting. The dynamics of modern life grow along with human needs that continue to grow. The need that continues to grow will then backfire for humans and their groups if they are not able to be packaged in a useful context. The problems of modern life can be packaged in Sufism scholarship that has been modernized in character education. E. Ova Siti Sofwatul UmmahThis study attempts to describe the practice of tarekat Syadziliyyah in Pesantren Cidahu, Pandegang, Banten which encourages the realization of the piety of its followers, ritually, spiritually, and socially. Based on the qualitative approach, through an in-depth interview to the people who is practicing tarekat, consisting of santri, the servants of the pesantren’, the head of the village, as well as senior students who are considered to have considerable influence because of their religious knowledge and wisdom, the result of this study shows that the tarekat which is developed by Abuya Dimyathi, through practicing istighfar, shalawat ummi, kalimah tauhid, do'a, wasilah and rabithah had a positive impact on the ritual, spiritual, and social piety of the santri of pesantren Cidahu. Increasing the discipline and routine of the santri in carrying out the obligatory and sunnah worship, devotion, calmness, and surrender in carrying out and responding to the various life activities became its real pieces of evidence. Ahmad MunjiGenerally in the teachings of any religion, both divine religions such as Islam, Christianity and Judaism, or earth religions such as Hinduism, Buddhism there is a polarization between religion and economic activity. So that all activities which seeking riches is viewed negatively and not in accordance with the lofty ideals of spirituality. In the teachings of Islamic religion there is also tendency that sees economic activity as an activity that is in appropriate for a religious. By using content analysis, the studies illustrate that everyone can make his profession as a path to God. Provided that each profession held by Islamic guidance, according to the Qur'an and the Hadith. Abstrak Dalam ajaran keagamaan secara umum, baik agama-agama samawi seperti Islam, Kristen dan Yahudi, maupun agama bumi seperti Hindu, Buddha dan lain sebagainya terdapat anti-nomi antara agama dan kegiatan ekonomi. Sehingga seluruh kegiatan yang mencari kekayaan dipandang negatif dan tidak sesuai dengan cita-cita luhur spiritualitas. Dalam ajaran Agama Islam juga terdapat tendensi yang cukup kuat yang memandang kegiatan ekonomi sebagai aktifitas yang tidak pantas bagi manusia yang taat beragama. Dengan menggunakan analisis isi content analysis, setudi ini menggambarkan bahwa, setiap orang bisa menjadikan profesinya sebagi jalan menuju kepada Allah. Asalkan setiap apa yang menjadi aktifitas keseharianya dilaksanakan berdasarkan tuntunan Islam, sesuai dengan al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad. Keywords profesi, wirid, al-Quran, hadis, NasuhiArtikel ini akan mengungkapkan dinamika yang terjadi pada dunia tasawuf dan tarekat di Indonesia pada abad ke-19. Oleh Clifford Geertz, abad ke-19 ini disebut sebaga abad universalisasi Islam di Indonesia. Fenomena yang tampak menonjol pada abad ini adalah maraknya berbagai pergolakan pada hampir seluruh lapisan sosial untuk menentang penetrasi kolonial Belanda; dan pada satu seginya, pergolakan-pergolakan tersebut mengindikasikan adanya kebangkitan agama Islam. M. Arif KhoiruddinKehidupan masyarakat saat ini nampak tumbuh dan berkembang sifat-sifat materialistik dan hedonisme, gejala ini ditandai dengan menjadikan materi sebagai tolak ukur untuk mencapai kesuksesan dan kebahagian. Masyarakat berlomba-lomba mencari dan mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Dorongan seperti ini berdampak kecenderungan masyarakat bertindak tanpa kontrol demi mendapatkan apa yang diinginkan dengan menghalalkan segala cara tanpa memperdulikan sesama, hilangnya kepedulian sosial, kecenderungan individualistis, materialistis, kapitalis dan hedonis. Tasawuf dalam kehidupan sosial mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menuntaskan permasalahan dan penyakit sosial yang ada, amalan yang terdapat dalam ajaran tasawuf akan membimbing seseorang dalam mengarungi kehidupan dunia menjadi manusia yang arif, bijaksana dan profesional dalam kehidupan bermasyarakat dan memberikan nilai-nilai spiritual dan sosial yang jelas. Bentuk ajaran yang ditawarkan untuk membersikan jiwa dan penyakit sosial tersebut dalam ajaran tasawuf dapat dilakukan dengan melalui tiga tahapan yaitu Takhalli membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin yang mengotori hati manusia seperti iri dan dengki, buruk sangka, sombong, membanggakan diri, pamer, pemarah dan sifat-sifat tercelah yang lain. Tahalli mensucikan atau menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan ta’at lahir dan taat batin. Tajalli terungkapnya nur ghaib untuk Aqil Siradjp>Abstrak Perkembangan dunia kontemporer memperlihatkan kecemasan global umat manusia. Dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak jarang manusia Modern melakukan hal-hal yang membahayakan kemanusiaan secara umum. Islam, dengan pandangan batiniahnya, menempatkan manusia sebagai makhluk Ilahiyah yang memiliki fungsi menjelmakan cahaya Ketuhanan di dalam kehidupan. Tulisan ini berusaha memperlihatkan bahwa pembumian ajaran-ajaran sufistik merupakan langkah signifikan dalam mengarahkan tatanan kehidupan dunia yang ramah, anggun dan penuh rahmat bagi sekalian alam. Penulis menyimpulkan bahwa bertasawuf pada hakikatnya adalah aktivitas berupa kesadaran manusia yang paling dalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya, yang terilhami oleh kualitas asmâ dan shifat Allah dan kemudian terwujud dalam perilaku sosialnya. Abstract Developing Social Order through the Morality of the Application of Tasawuf Teachings. The rapid development of contemporary world results in global anxiety of humankind. With the prosperity of scince and technology, modern man has often performed actions that are against humanity in general. Islam with its esoteric perspective places man as godly creature functioning to existentiate the light of the Divine in life. In this writing is it is attempted to show that the application of sufistic teachings is a significant step in directing a friendly and peaceful life of the world order, merciful of God necessary for the whole creatures. The author concludes that in reality, applying tasawuf is an activity that reflect man’s deep consciousness of his relationship with God, the environment and his fellow man inspired by the quality of the names and character of God which are then persevered in the social activities. Kata Kunci tasawuf,irfani, moralitas,dzawq The purpose of this study serve to identify the influence analysis emotional intelligence and spiritual intelligence on performance employees study at the PT. Bank Negara Indonesia, Persero, Tbk Daerah Khusus Ibukota Jakarta and Surakarta Operation. This study is a descriptive empirical study with a quantitative approach. The type of data used is primary data and secondary data. The population in this study is the teller PT. Bank Negara Indonesia, Persero, Tbk Daerah Khusus Ibukota Jakarta and Surakarta operation number n 146 with sensus technique. Instrument research using emotional intelligence questionnaires EQ, spiritual intelligence questionnaires SQ, and performane questionnaires. Data analysis includes validity test, reliability test, the classical assumption test, and test hypotheses with linear regression as a tool of analysis using SPSS 17 for windows. Based on the discussion of the results of this study be concluded that emotional intelligence and spiritual intelligence affect the performance of the employees of PT. Bank Negara Indonesia, Persero, Tbk Daerah Khusus Ibukota Jakarta and Surakarta operation.
Dalampengajian terakhir (14/5/ 2010), Syaikh Al-Buthi menerangka n bahwa istilah tasawuf adalah istilah yang tidak memiliki asal. Memang ada yang mengatakan bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuuf (bulu domba), Ahlus Shuffah (penghuni Shuffah), Shafaa (jernih), Shaff (barisan) dan lain-lain. Namun teori-teor i itu tidak ada yang tepat menurut beliau sebagaiman a disebutkan oleh Imam Al-Qusyair
Semua orang pasti pernah mendengar kata jodoh, namun kita mungkin jarang mengetahui apa sih pengertian dari jodoh dan hakikat jodoh itu? Ya kali ini bersama kita akan membahas tentang apa itu jodoh dan hakikat tentang jodoh itu sendiri. Kalau kita merujuk pada kamus bahasa Indonesia, maka jodoh itu berarti orang yang cocok menjadi suami atau istri; pasangan hidup. Jodoh juga biasa digunakan untuk kata-kata selain pasangan hidup, yaitu misalnya minum obat dan manjur, maka orang itu berarti berjodoh dengan obat yang dia minum. Lalu apa sih sebenarnya definisi dari jodoh itu? Apakah jodoh itu berarti orang yang sudah menikah dengan kita, dimana jodoh itu ditandai dengan selesainya kalimat ijab dan qabul? Apakah dengan seseorang menikah dengan kita itu berarti jodoh yang sebenarnya? Tapi kalau memang suami istri yang telah menikah adalah jodoh, apakah ketika mereka bercerai berarti mereka bukan jodoh? Apakah jodoh itu sekedar kecocokan yang bersifat sementara, dan jika sudah tidak cocok dan bercerai berarti gagal jodoh? Pemahaman Tentang Jodoh mau menengahi masalah ini. Bahwa orang yang berhasil menikah dengan pasangannya, itu berarti mereka adalah jodoh dengan arti yang sebenarnya, karena pernikahan itu tak dipaksakan dengan kesadaran masing-masing pasangan. Mereka adalah jodoh dalam arti yang hakiki, yaitu keduanya adalah pasangan yang cocok. Namun sayangnya, hidup manusia itu tak semudah seperti apa yang manusia harapkan. Pasti ada masalah yang akan datang pada manusia, termasuk dalam hal jodoh. Perlu dicatat bahwa kecocokan dalam jodoh ketika sudah menikah itu adalah kecocokan baru permulaan saja. Jodoh dalam pernikahan adalah awal mula dari proses untuk mencocokkan antara kedua pasangan itu. Selanjutnya bakalan ada proses-proses pencocokan yang jauh lebih rumit daripada yang dibayangkan. Kalau kedua pasangan bisa bertahan dan berhasil melalui proses pencocokan dalam rumah tangga, maka keduanya akan berhasil. Sebaliknya jika tidak maka umur jodoh pun tak akan abadi, dan akhirnya, bisa tumbang. Pengertian Jodoh Dan Hakikat Jodoh Dalam berjodoh, kedua pasangan jodoh itu tak sepenuhnya sempurna seratus persen karena masing-masing pasangan pasti berbeda dengan pasangannya masing-masing. Walaupun sempurna dan terbaik pun belum tentu cocok dengan pasangannya. Ada kata bijak mengatakan, dua orang yang baik belum tentu menjadi jodoh yang baik. Oleh karenanya, sebagaimana sebutkan sebelumnya, keduanya harus bisa cocok secara terus-menerus. Jodoh Yang Hakiki Nah, jodoh yang hakiki menurut itu adalah jodoh yang bisa terus-menerus melalui proses pencocokan pasangan hingga akhir hayat kedua pasangan itu. Seorang suami bersama istrinya bisa disebut jodoh yang hakiki jika keduanya berhasil melalui beragam masalah dalam rumah tangga sehingga mereka berhasil hidup bersama hingga akhir hidup mereka, hingga detik-detik terakhir hayat mereka. Menurut prespektif ini, ingin mengatakan bahwa kalau orang menikah itu mereka adalah jodoh, namun ketika bercerai berarti mereka berpisah dengan jodohnya. Dan jika kedua pasangan bisa bersama hingga akhir hayat keduanya, maka mereka ini adalah jodoh yang hakiki, jodoh yang sebenar-benarnya. Jodoh sebagaimana singgung sedikit sebelumnya, tidak datang dengan sendirinya langsung cocok dan berjodoh. Tapi jodoh itu ada usaha untuk mencocokkan kedua pasangan. Mudah untuk mencari jodoh tapi yang sulit adalah bagaimana membuat jodoh kita itu adalah jodoh yang hakiki. Itulah arti jodoh yang hakiki menurut Lalu Ada Yang Tanya, Apakah Poligami Juga Jodoh? Nah ini perlu pemahaman yang luas lagi tentang jodoh, bahwa jodoh itu tak melulu dua orang saja. Bahwa dalam agama memang diperbolehkan dalam berpoligami, maka ketika seseorang memutuskan untuk berpoligami, maka istri-istri yang dia miliki itu juga jodoh pastinya, sebagaimana apa yang kita pahami di atas. Arti Istilah Jodoh Haram Ada istilah jodoh halal dan jodoh yang haram. Inti dari jodoh adalah cocok dengan pasangan. Dan dengan pengertian ini, jika dua orang berpasangan tanpa ada ikatan pernikahan saling cocok dan mencintai, maka jika kecocokan ini dijalani dengan hal-hal yang diharamkan dalam agama, maka bisa disebut bahwa keduanya adalah jodoh yang haram. Sebaliknya, jika kedua pasangan yang cocok ini kemudian meneruskan pada pernikahan, maka keduanya bisa disebut jodoh yang halal. Jadi jodoh sebenarnya tak terbatas pada ikatan pernikahan saja, karena inti dari jodoh itu sebenarnya ada pada kata kecocokan. Namun dengan adanya ikatan yang sah itu menunjukkan puncak dari kecocokan kedua pasangan manusia ini, karena dengan pernikahan, keduanya terikat untuk melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya yang bisa melindungi kedua pasangan itu untuk bisa menjadi jodoh yang lebih hakiki. ShahNaqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah. Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari Saya masih ingat pandangan saya dulu “Kalau dua insan sudah berjodoh, pasti mereka berdua memiliki banyak kesamaan dan kecocokan. memlih pasangan pun harus sesuai keinginan dan faktor kecocokan dan kriteria kita. lalu apa sih yg dimaksud dgn JODOH. Sebab, pasangan yang kini menjadi pendamping seumur hidup saya ternyata lebih banyak ketidak cocokannya malah bertentangan apa yg dulu bayanngkan dan inginkan. Akhirnya saya bisa mengambil kesimpulan sendiri, bahwa sebenarnya hakekat jodoh itu bukanlah seperti pandamgan saya dulu. ada lagi pandangan bahwa dua manusia yang merasa saling berjodoh pasti memiliki ikatan emosional, spiritual dan fisik antara keduanya. Hanya dengan menatap matanya, kita akan merasakan getaran dan cinta Benarkah seperti itu kah jodoh kita? lalu bagaimanakah bila ada pasangan pasutri belum pernah merasakan hal itu, karena selama pernikahannya yg ada penderitaan dan tekanan bathin kekecewaam dan demi kekecewaan. Menurut saya JODOH sesuatu yg klop dan matching yg ALLAH berikan sesuai kebutuhann kita. artinya bahwa karakter, sifat dan jiwa serta diri kita yg seperti ini akan klop dan matching bila diberi pasanggan seperti ini. Disanalah kita akan berkembang bersikap bijaksana konsekuensinya adalah bahwa pernikahan itu banyak hal tidak enaknya. inilah yg dimaksud RASULLAH bahwa nikah itu menyempurnakan agama, karena disanalah kita akan belajar shbar, tanggung jawab, komitmen dan belajar memaklumi. Jika pasangan merupakan cobaan untuk seseorang untuk melampaui batas maksimum kemampuannya, maka sebenarnya kesulitan serta masalah yang menyertai hadirnya pasangan hidul pasti akan dibarengi dengan kemampuan kita yang sangat pas untuk mengatasi kesulitan itu. INILAH yg dsbt jodoh atau klop. Karakter pasangan yang begini hanya cocok untuk menguji karakter kita yang begitu, karena akan memunculkan kemampuan kita hingga level sekian dan akan merubah dirimya hingga level sekian. Karena Allah menyukai orang-orang yang berpikir, maka hanya orang tua yang mau berpikir, bersabar dan berusaha maksimal saja yang berhasil menjalani pernikahannya.
Yangpernah saya dengar >dalam tasawuf itu terdapat jenjang/ tingkatan (maaf mungkin saya yang >awam ini salah tangkap), yaitu SYARIAT, HAKIKAT, TAREKAT, MA'RIFAT > >Apa yang dimaksudkan dengan hal tersebut di atas (syariat, hakikat, >tarekat, ma'rifat) sebagai suatu tingkatan dalam menjalani tasawuf >itulah yang masih membingungkan saya
Hakikat tasawufKarya SYEIKH SHALIH BIN FAUZAN AL FAUZAN حقيقة التصوف وموقف الصوفية من أصول العبادة والدينتأليفالشيخ صالح بن فوزان الفوزان يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaanberagamaIslam” Ali-Imran 102 MUKADIMAHSegala puji hanya bagi Allah Rabb seluruh alam, Yang telah menyempurnakan agama ini dan nikmat-Nya untuk kita, Yang telah meridhai Islam sebagai agama kita dan Yang memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengannya hingga matiيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Ali-Imran 102Dan itulah wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’kub -alaihimassalam- kepada anak-anaknyaوَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub Ibrahim berkata “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” Al-Baqarah 132.Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada hamba dan rasul-Mu, Nabi kita Muhammad, keluarganya dan shahabat-shahabatnya semua. Sesungguhnya Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firmannya وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. Adz-Dzariat 56Dengan ibadah, manusia akan meraih kemuliaan, kebesaran dan kebahagiaan dunia dan akhirat, karena mereka butuh kepada Tuhan. Manusia tidak dapat melepaskan kebutuhannya terhadap Tuhannya walaupun sesaat, sedangkan Dia sama sekali tidak butuh kepada mereka manusia dan ibadahnya. Allah ta’ala berfirmanإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ“Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan iman-kalian.” Az-Zumar 7 وَقَالَ مُوسَىٰ إِن تَكْفُرُوا أَنتُمْ وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ“Dan Musa berkata “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari ni’mat Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” Ibrahim 8Ibadah merupakan hak Allah atas hamba-Nya dan manfaatnya akan kembali kepada mereka. Siapa yang menolak beribadah kepada Allah, dia adalah orang yang takabbur sombong. Siapa yang beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain-Nya, dia adalah orang musyrik. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan apa yang Allah tidak syariatkan, maka dia adalah pelaku bid’ah. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan apa yang Allah syari’atkan, dia adalah mu’min sejati. Ketika seorang hamba sangat membutuhkan ibadah sedangkan seorang hamba tidak mungkin mengetahui sendiri hakikat ibadah yang diridhai Allah ta’ala dan yang sesuai dengan agama-Nya, maka masalah ini tidak diserahkan begitu saja kepada mereka, karena itu Allah mengutus para rasul kepada hamba-hamba-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menjelaskan hakikat ibadah, sebagaimana firman-Nya وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan “ Sembahlah Allah saja dan jauhilah Thagut[1] itu. “An-Nahl 36Allah berfirman وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya “Bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” Al-Anbiya 25Siapa yang menentang apa yang disampaikan para Rasul dan apa yang diturunkan dalam Kitab-Kitab-Nya tentang beribadah kepada Allah, kemudian dia beribadah kepada Allah atas dasar kehendak hatinya atau apa yang diingini hawa nafsunya atau apa yang dibisikkan setan-setan manusia dan jin, maka dia telah sesat dari jalan Allah. Ibadah seperti itu pada hakikatnya bukan beribadah kepada Allah, akan tetapi beribadah kepada hawa nafsu وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. ”Al-Qhashash 50.Manusia jenis ini tergolong banyak, pelopornya adalah orang-orang Nasrani Kristen dan mereka yang sesat dari golongan umat islam seperti orang-orang tasawuf. Karena mereka telah menetapkan untuk mereka sendiri ketentuan ibadah yang bertentangan dengan apa yang Allah syari’atkan yang tampak jelas dari syiar-syiar ajaran mereka. Kesesatan mereka akan semakin nyata manakala dijelaskan hakikat ibadah yang Allah syari’atkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam serta penyimpangan hakikat ibadah yang dilakukan kalangan tasawuf dewasa ini. KAIDAH-KAIDAH IBADAH YANG BENARSesungguhnya ibadah yang Allah syariatkan dibangun diatas dasar dan pokok yang kokoh dan baku. Dasar-dasar tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Ibadah bersifat tauqifi[2] dan harus bersumber dari musyarri’ Yang berhak menetapkan syari’at yaitu Allah ta’ala sebagaimana firman-Nyaفَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” Hud 112 ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ “Kemudian Kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat peraturan dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." Al-Jatsiah 18Allah berfirman tentang nabi-Nya إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ “Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.” Al Ahqaaf 9. 2. Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas[3] karena Allah ta’ala, suci dari noda kesyirikan. فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepadanya.” Al-Kahfi 110.Jika ibadah tercampur dengan sesuatu kesyirikan, maka ibadah itu tidak ada nilainya. Firman Allah ta’ala وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” Al-An’am 88. وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ * بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu “Jika kamu mempersekutukan Tuhan, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” Az-Zumar 65-66. 3. Dalam ibadah hendaknya yang dijadikan panutan dan sumbernya adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” Al Ahzab 21.وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkan-lah.” Al-Hasyr 7.Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم.“Siapa yang melaksanakan suatu amalan yang bukan termasuk urusan agama kami maka dia tertolak.” Muslim. مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ متفق عليه.“Siapa yang mengada-ada dalam perkara agama kami yang bukan termasuk didalamnya maka dia tertolak.” Muttafaq alaih. صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي متفق عليه.“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Muttafaq alaih. خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ رواه مسلم.“Ambillah dariku manasik haji kalian.” MuslimDan masih banyak lagi nash-nash yang lain tt hal ini. 4. Ibadah telah ditetapkan berdasarkan waktu dan ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya shalat. Allah ta’ala berfirman إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang beriman.” An Nisa 103.Allah berfirman الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ “Masa mengerjakan ibadah haji itu beberapa bulan yang telah diketahui.” Al-Baqarah 197. شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “Beberapa hari yang ditentukan itu adalah bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan permulaan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang bathil. Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di negeri tempat tinggalnya di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu.” Al Baqarah 185. 5. Ibadah harus dilakukan atas dasar cinta kepada Allah ta’ala, merendahkan diri, takut dan harap kepada-Nyaأُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.” Al-Isra’ 57.Allah berfirman tentang para nabiإِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ “Sesungguhnya mereka senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan dan senantiasa berdoa kepada kami dengan penuh harapan serta takut dan mereka senantiasa khusyu’ kepada kami." Al-Anbiya 90.Allah berfirman قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ 31 قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ “Katakanlah “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Ali-Imran 31-32.Allat ta’ala telah menyebutkan tanda-tanda serta buah cinta kepada-Nya. Adapun tanda-tandanya adalah mengikuti Rasulullah, ta’at kepada Allah dan ta’at kepada Rasul-Nya. Sedangkan buahnya adalah memperoleh cinta Allah ta’ala, ampunan dosa dan dari rahmat dari-Nya. 6. Kewajiban ibadah tidak gugur bagi mukallaf orang yang telah dibebani kewajiban, semenjak dia baligh dan berakal hingga mati. Allah ta’ala berfirman وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ “Janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Ali Imran 102. واعبد ربك حتى يأتيك اليقين “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini ajal .” Al-Hijr 99. HAKIKAT TASAWUFKata “Tasawuf” dan “Sufi” belum dikenal pada masa-masa awal Islam, kata ini adalah ungkapan baru yang disusupkan ke dalam Islam oleh ummat-umat lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawa berkata “Adapun kata Sufi belum dikenal pada tiga abad pertama hijriah, ia baru dikenal setelah itu. Pendapat ini telah diungkapkan oleh lebih dari seorang imam, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Sulaiman Ad-Darani dan yang lain. Terdapat riwayat bahwa Abu Sufyan Ats-Tsauri pernah menyebut-nyebut tentang sufi, sebagian lagi menukilnya dari Hasan perbedaan pendapat tentang kata “sufi” yang disandingkan dibelakang namanya, yang sebenarnya itu adalah nama nasab seperti “qurasyi”, “madany” dan yang semacamnya. Ada yang mengatakan bahwa kata sufi berasal dari kata Ahlissuffah[4] , hal tersebut keliru, karena jika itu yang dimaksud maka kalimatnya berbunyi Suffiyy ُصفِّيّ .Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah barisan shaf terdepan dihadapan Allah, hal itu juga keliru, karena jika yang dimaksud demikian, maka yang benar adalah صَفِّيّ . Ada juga yang mengatakan bahwa ungkapan tersebut bermakna makhluk pilihan Allah صفوة, itu juga keliru, karena jika itu yang dimaksud, maka ungkapan yang benar adalah Shafawy صَفَوِي. Ada yang mengatakan bahwa kata sufi berasal dari nama seseorang yaitu Sufah bin Bisyr bin Ad bin Bisyr bin Thabikhah, sebuah kabilah arab yang tinggal di Mekkah pada zaman dahulu yang terkenal suka beribadah, hal inipun sekalipun sesuai dari sisi kalimat namun juga dianggap lemah, karena kabilah tersebut tidak terkenal sebagai orang-orang yang suka beribadah dan seandainyapun mereka terkenal sebagai ahli ibadah, maka niscaya julukan sufi tersebut lebih utama jika diberikan kepada para shahabat dan tabi’in serta tabi’ittabiin. Disisi lain orang-orang yang mengaku sufi tidak mengenal kabilah ini dan mereka tentu tidak akan rela jika istilah tersebut dikatakan berasal dari sebuah kabilah pada masa jahiliah yang tidak ada unsur Islamnya juga yang mengatakan –dan inilah yang terkenal- bahwa kalimat tersebut berasal dari kata الصوف wol, karena sesungguhnya itulah kali pertama tasawuf muncul di pertama kali membangun rubath tempat ibadah sufi adalah teman-teman Abdul Wahid bin Zaid, dan Abdul Wahid adalah sahabat Hasan Al-Basri, dia terkenal dengan sikapnya yang berlebih-lebihan dalam hal zuhud, ibadah dan sikap khawatir khouf, satu hal yang tidak di dapati pada penduduk kota saat itu. Abu Syaikh Al-Ashbahani meriwayatkan dalam sanadnya dari Muhammad bin Sirin yang mendapat berita bahwa suatu kaum mengutamakan memakai pakaian terbuat dari wol shuf, maka dia berkata “Sesungguhnya ada suatu kaum yang memilih pakaian wol dengan mengatakan bahwa mereka ingin menyamai Al-Masih bin Maryam, padahal sunah nabi kita lebih kita cintai, beliau dahulu mengenakan pakaian dari katun atau lainnya”.Kemudian setelah itu dia berkata “Mereka mengaitkan masalah itu dengan pakaian zahir yaitu pakaian yang terbuat dari wol maka mereka mengatakan dirinya sufi, akan tetapi sikap mereka tidak terikat dengan mengenakan pakaian wol tersebut, tidak juga mereka mewajibkannya dan menggantungkan permasalahannya dengan hal tersebut, akan tetapi dikaitkannya berdasarkan penampilan luarnya saja. Itulah asal kata tasawuf, kemudian setelah itu kata sufi bercabang-cabang dan bermacam-macam” demi-kianlah komentar beliau –rahimahullah- [5] yang menjelaskan bahwa tasawuf mulai tumbuh berkembang di negri Islam oleh orang-orang yang suka beribadah di negri Basrah sebagai dampak dari sikap mereka yang berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah dan kemudian berkembang setelah itu, bahkan para penulis belakangan sampai pada kesimpulan bahwa tasawuf merupakan pengaruh dari agama-agama lain yang masuk ke negri-negri Islam, seperti agama Hindu dan Nashara. Pendapat tersebut berdasarkan ucapan Ibnu Sirin yang mengatakan “Sesungguhnya ada beberapa kaum yang memilih untuk mengenakan pakaian wol seraya mengatakan bahwa hal tersebut menyerupai Al-Masih bin Maryam, padahal petunjuk Nabi kita lebih kita cintai”. Hal tersebut memberi kesimpulan bahwa tasawuf memiliki keterkaitan dengan agama Nasrani !.Doktor Sabir Tu’aimah menulis dalam bukunya As-Sufiyah; mu’taqadan wamaslakan Sufi; aqidah dan tuntunan,“Tampaknya tasawuf merupakan akibat dari pengaruh Rahbaniyah[6] kependetaan dalam agama Nasrani yang pada waktu itu para pendetanya mengenakan pakaian wol dan jumlah mereka sangat banyak, yaitu golongan orang-orang yang bersungguh-sungguh melakukan prilaku tersebut di negeri-negeri yang dimerdekakan Islam dengan pengaruh tauhid, semuanya memberikan pengaruh yang tampak pada prilaku generasi pertama dari kalangan tasawuf "[7] Syaikh Ihsan Ilahi Zahir –rahimahullah- dalam kitabnya Tashawwuf Al-Mansya’ Walmashdar Tasawuf; sejarah berdiri dan Sumber-Sumbernya berkata “Jika kita amati ajaran-ajaran tasawuf dari generasi pendiri hingga akhir serta pernyataan-pernyataan yang dinukilkan dari mereka dan yang terdapat dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu hingga kini, maka akan kita dapatkan bahwa disana terdapat perbedaan yang sangat jauh antara ajaran tasawuf dengan ajaran Quran dan Sunnah, begitu juga kita tidak akan mendapatkan landasan dan dasarnya dalam sirah Rasulullah serta para shahabatnya yang mulia yang merupakan makhluk-makhluk pilihan Allah. Bahkan sebaliknya kita dapatkan bahwa tasawuf diadopsi dari ajaran kependetaan kristen, kebrahmanaan Hindu, ritual Yahudi dan kezuhudan Budha”[8]. Syaikh Abdurrahman Al-Wukail –rahimahullah- berkata dalam mukadimah kitabnya Mashra’ut Tashawwuf keruntuhan tasawuf, “Sesungguhnya tasawuf rekayasa syaitan yang paling hina dan nista untuk memperbudak hamba Allah dalam rangka memerangi Allah dan Rasul-Nya, tasawuf merupakan kedok orang-orang Majusi dengan berpura-pura seolah-olah bersumber dari Allah, bahkan dia merupakan kedok setiap sufi untuk memusuhi agama yang haq ini. Perhatikanlah! akan anda dapatkan di dalam ajarannya kebrahmanaan Budha, Zaratustha, Manuiah dan Disaniah. Andapun akan mendapatkan didalamnya Platoisme, Ghanusiah, didalamnya juga terdapat unsur Yahudi, Kristen dan Paganisme berhalaisme Jahiliyah “ [9] .Dari apa yang diketengahkan oleh para penulis muslim masa kini diatas tentang asal usul tasawuf, dan masih banyak selain mereka yang tidak disebutkan yang menyatakan hal serupa, maka jelaslah bahwa sufi adalah sesuatu yang disusupkan ke dalam ajaran Islam yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi pengikut aliran tersebut dengan cara-cara yang aneh dan jauh dari hidayah Islam. Mengenai disebutkannya secara khusus kalangan sufi generasi kemudian muta’akhirin, karena pada mereka banyak terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sedangkan kalangan sufi terdahulu, mereka relatif lebih moderat, seperti Fudhail bin Iad, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain lain. PANDANGAN TASAWUFTERHADAP IBADAH DAN AGAMAOrang-orang tasawuf –khususnya generasi terakhir- memiliki tata cara ibadah yang berbeda dari pedoman para salaf ulama terdahulu dan jauh meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka membangun agama dan ibadah mereka berdasarkan syiar dan istilah yang mereka buat-buat yang tersimpul dalam keterangan berikut 1. Mereka hanya membatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta dan mengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan yang diucapkan oleh sebagian mereka,“Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka”. Memang benar bahwa cinta merupakan hal yang sangat asasi untuk beribadah, akan tetapi ibadah tidak semata-mata berlandaskan cinta sebagaimana yang mereka sangka, cinta hanya merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi, seperti rasa takut khauf, harap raja', menghinakan diri Dzul, tunduk Khudhu’, doa dan lain-lain. Ibadah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyahإِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ اْلأَقْوَالِ وَاْلأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ “Ungkapan yang meliputi setiap apa yang Allah cintai dan ridhai baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang zhahir tampak maupun yang bathin tidak tampak”.Al Allamah Ibnul Qayyim berkataوَعِبَـادَةُ الرَّحْمَنِ غَـايَةُ حُبِّهِ مَـعَ ذُلِّ عَـابِدِهِ هُمَا قُطْبَانِ وَعَلَيْـهِمَا فَلَكُ الْعِبَـادَةِ دَائِرٌ مَـا دَارَ حَتَّى قَامَتْ الْقُطْبَانُ Menyembah Allah merupakan puncak kecintaannyaBersama kerendahan hamba, keduanya merupa-kan dua kutubDan diatas keduanya cakrawala ibadah berputarDia tidak berputar sebelum keduanya tegakKarena itu sebagian salaf berkata مَنْ عَبَدَ اللهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيْقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْحُبِّ وَالْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ.“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq[10], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah[11] dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri [12], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati” Dan Allah telah menerangkan bahwa para Nabi dan Rasul-Nya berdoa kepada rabb mereka dengan rasa takut dan harap dan bahwa mereka mengharap rahmat-Nya dan takut terhadap azab-Nya dan bahwa mereka berdoa kepada-Nya dengan harap dan Islam Ibnu Taimiah –rahimahullah- berkata “Karena itu terdapat dalam kalangan sufi muta’akhirin yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan setan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah”.Beliau juga berkata, “Banyak orang-orang yang beribadah dengan pengakuan kecintaannya kepada Allah menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah, atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya”. [13] Dia juga berkata, “Dan diantara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam mendengarkan syair-syair cinta dan kerinduan. Memang sesungguhnya itulah tujuan mereka, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tentang cinta untuk menguji kadar kecintaan mereka, sebagaimana firmannya قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu”. Imran 31.Seseorang tidak dikatakan mencintai Allah kecuali bila dia mengikuti dan ta’at kepada rasul-Nya. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan merealisasikan ibadah. Masalahnya banyak diantara mereka yang mengaku cinta akan tetapi keluar dari syariat dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, kemudian setelah itu berhujjah dengan khayalan-khayalan -yang tidak cukup dalam pembahasan ini untuk menyebutkannya- hingga salah seorang diantara mereka menganggap gugurnya perintah atau menghalalkan sesuatu yang haram terhadap dirinya”. Syaikhul Islam juga berkata, “Banyak diantara mereka yang sesat karena mengikuti perkara-perkara bid’ah seperti sikap zuhud, atau beribadah yang tidak berdasarkan ilmu dan cahaya dari Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga mereka terjerumus sebagaimana terjerumusnya orang-orang Nasrani yang mengaku cinta kepada Allah tapi menyalahi syariat-Nya dan meninggalkan mujahadah bersungguh-sungguh dijalan-Nya”. Dengan demikian maka jelaslah bahwa hanya mengandalkan sisi cinta, sesuatu tidak dapat dinamakan sebagai ibadah, bahkan bisa jadi, justru akan menggiring pelakunya kepada kesesatan dan keluar dari agama. 2. Kalangan sufi pada umumnya tidak menempuh cara beragama yang benar, dimana mereka beribadah tidak merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta tidak meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka justru merujuk kepada Zauq perasaan atau apa yang diajarkan guru-guru mereka lewat tarekat-tarekat, atau zikir dan wirid-wirid yang penuh bid’ah. Terkadang mereka berdalil dengan hikayat, mimpi atau hadits-hadits maudhu’[14] untuk mendukung pendapat mereka, daripada berdalil dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah landasan yang dibangun diatasnya “agama” diketahui bahwa sebuah ibadah tidak dikatakan ibadah yang shahih benar kecuali jika dia dibangun diatas landasan Al Quran dan As Sunnah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Mereka –orang-orang Sufi- berpegang teguh dalam agama untuk bertaqarrub kepada Allah sebagaimana berpegang teguhnya orang-orang nasrani terhadap teks-teks yang mutasyabih samar atau hikayat yang tidak diketahui kejujuran orang yang meriwayatkannya, seandainyapun benar, namun para syaikh bukanlah orang yang ma’shum. Maka jadilah mereka pengekor dan guru-guru mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka……”Karena sumber tempat mereka merujuk dalam agama dan ibadah, bukan kepada Al-Quran dan As-Sunnah, maka akibatnya mereka terpecah belah berkelompok-kelompok, firman Allah ta’ala وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ۚ “Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya…”. Al An’am 153Jalan Allah hanya satu, tidak terbagi dan tidak terpecah belah, selainnya berarti jalan-jalan yang terpecah belah yang akan mencerai-beraikan orang yang menempuhnya dan menjauhkannya dari jalan yang lurus sirathal mustaqim. Hal ini berlaku bagi kelompok tasawuf, karena setiap firqah kelompok memiliki caranya sendiri-sendiri, berbeda dari firqah yang lain. Setiap firqah memiliki syaikh guru yang mereka namakan syaikh tarekat guru tarekat yang menentukan kepada mereka pedoman yang berbeda dari pedoman firqah yang lainnya dan berseberangan dengan shiratalmustaqim jalan yang lurus. Dan syaikh ini yang mereka sebut syaikh tarekat memiliki wewenang mutlak untuk menentukan, sedang mereka murid-muridnya hanya menjalankan apa yang dia ucapkan tanpa boleh membantah sama sekali . Bahkan hingga mereka berkataالْمُرِيْدُ مَعَ شَيْخِهِ يَكُوْنُ كَالْمَيِّتِ مَعَ غَاسِلِهِ“Al-Murid[15] dihadapan syaikhnya bagaikan mayat dihadapan orang yang memandikannya”. Kadang-kadang sebagian syaikh tersebut mengaku bahwa apa yang diperintahkan kepada murid-murid dan pengikut-pengikutnya dia terima langsung dari Allah. 3. Termasuk ajaran tasawuf adalah berpegang teguh pada zikir-zikir atau wirid-wirid yang telah ditetapkan guru-guru mereka. Mereka menjadikannya sebagai pegangan dan sarana beribadah dengan membacanya bahkan bisa jadi mereka lebih mengutamakannya daripada membaca Al-Quran. Mereka menamakannya sebagai zikrulkhassah zikir untuk orang-orang khusus. Sedangkan zikir yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah mereka namakan dengan zikirulammah zikir untuk orang awam. Ucapan لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله bagi mereka adalah zikirulammah, sedangkan zikir khassah-nya adalah kalimat tunggal, yaitu lafaz الله dan zikir khassatulkhassah yang lebih khusus lagi adalah هو Islam Ibnu Taimiah berkata “Siapa yang menyatakan bahwa hal tersebut, yaitu ucapanلاَ إِلَهَ إِلاَّ الله sebagai zikirulammah dan zikirulkhassah-nya adalah kata tunggal الله , dan zikir yang lebih khususnya lagi هو yaitu isim dhamir kata ganti maka dia sesat dan menyesatkan. Jika mereka berdalih dengan firman Allah ta’ala قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ “Katakan “Allah” yang menurunkannya, kemudian sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka, biarkanlah mereka bermain-main dengan kesesatannya” Al An’am 91.Maka hal itu merupakan kekeliruan mereka yang paling nyata, bahkan merupakan upaya mereka yang mengubah-ubah kata dari makna yang sebenarnya. Karena kata الله disebut dalam ayat tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan dari ayat sebelumnya, yaitu firman Allah ta’ala قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَى نُورًا وَهُدًى لِلنَّاسِ “Siapakah yang menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia” Al An`aam 91.Hingga firman Allah ta’ala قُلِ اللَّه “Katakanlah Allah”maksudnya Allah-lah yang menurunkan Al-Quran yang dibawa Musa Allah merupakan mubtada’ yang diterangkan dan khabar-nya yang menerangkan adalah kalimat tanya tersebut. Sebagai perbandingan misalnya jika anda bertanya Siapa tetanggamu?, maka dia menjawab Zaid. Sedangkan kata tunggal; baik kata ganti ataupun bukan, tidak dapat dikatakan kalimat sempurna, bukan juga susunan kalimat yang bermakna jumlah mufidah. Dengan demikian kata tunggal tersebut, tidak dapat dihukumi sebagai dalil yang menunjukkan keimanan dan kekufuran, atau perintah dan larangan, tidak ada seorangpun dari ulama terdahulu yang menyebutkannya, tidak juga diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga memberikan ma’rifah pemahaman yang bermanfaat bagi kalbu atau keadaan. Dan kata tunggal dalam ilmu logika hanya mengandung tashawwur gambaran secara mutlak, dan dia tidak mengandung hukum nafy peniadaan dan itsbat penetapan[16]. Hingga sebagian mereka yang mengamalkan dengan kontinyu zikir dengan kata tunggal الله atau dengan هو terjerumus dalam sebagian pemahamam atheis tidak mengakui adanya Tuhan atau semacam kepercayaan manunggaling kepercayaan bersatunya Allah dengan makhluk.Dinukilkan dari sebagian syaikh mereka berkata“Saya takut mati dalam keadaan antara nafy meniadakan tuhan dan itsbat menetapkan Allah”. Sesungguhnya kondisi seperti itu tidak akan ditemui oleh yang mengucapkannya. Tidak diragukan bahwa dugaan tersebut terdapat kekeliruan, karena jika seseorang mati dalam kondisi tersebut antara meniadakan tuhan dan menetapkan tuhan maka dia mati dalam keadaan apa yang dia niatkan atau yang dia maksud, karena amal itu tergantung niatnya. Apalagi ada riwayat shahih bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentalqinkan orang yang sedang sekarat dengan ucapanلاَ إِلَهَ إِلاَّ الله seraya bersabda مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Siapa yang akhir ucapannya " Laa Ilaaha Illallah", dia masuk syurga”Seandainya apa yang dia sebutkan terlarang, niscaya orang yang sedang sekarat tidak di-talqinkan dengan kalimat yang dikhawatirkan dia meninggal dalam keadaan tidak terpuji. Karena itu zikir dengan kata tunggal الله atau kata ganti هو merupakan sesuatu yang jauh meninggalkan sunnah dan termasuk bid’ah serta lebih dekat dengan kesesatan setan. Karena siapa yang mengatakanيَا هُوَ يَا هُوَ atau هُوَ هُوَ atau yang semacamnya, maka tempat kembali dari kata ganti tesebut tidak lain kecuali apa yang digambarkan hatinya, sedangkan hati bisa jadi mendapat petunjuk atau sesat. Pengarang kitab “Al-Fushush” telah menyusun suatu kitab yang diberi nama "الهُو" Sang Dia. Sebagian mereka menyangka bahwa maksud firman Allah ta’ala وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ “Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah”. Ali Imran 7.adalah tidak ada yang mengetahui tafsir dari kata ganti هُ yang berarti dia dalam ayat di atas selain Dia Allah. Kaum muslimin bahkan para pemikir sepakat bahwa hal tersebut merupakan kebatilan yang nyata. Bisa jadi ada sebagian yang memiliki pemahaman yang sama. Saya katakan kepada sebagian yang mengatakan hal seperti itu bahwa seandainya apa yang anda katakan benar maka niscaya ayatnya berbunyi وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَ هُوَ dengan terpisah [17], maksudnya kata هُوَ ditulis terpisah dari kata تَأْوِيْلَ . 4. Sikap berlebih-lebihan kalangan tasawuf terhadap –orang yang mereka anggap- sebagai wali dan syaikh, hal ini bertentangan dengan aqidah Ahlus-sunnah waljamaah. Aqidah Ahlussunnah Waljamaah adalah aqidah yang membela wali-wali Allah dan memerangi musuh-musuhnya. Allah ta’ala berfirman إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah”. Al Ma’idah 55.Allah berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia”. Al Mumtahanah 1.Wali-wali Allah adalah orang-orang beriman yang bertaqwa, yaitu mereka yang menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mereka tunduk kepada-Nya. Kita wajib mencintai mereka, mengikuti jejak langkah mereka dan menghormati mereka. Kewalian bukan merupakan jatah bagi orang-orang tertentu, setiap mu’min yang bertaqwa adalah wali Allah ta’ala, tetapi dia bukan orang yang ma’shum terjaga dari kesalahan. Inilah makna kewalian dan kewajiban mereka menurut pendapat Ahlussunnah Waljamaah. Sedangkan kalangan tasawuf memiliki pengertian dan kriteria tersendiri mengenai wali, mereka menentukan status wali kepada orang-orang tertentu tanpa landasan syari’at atas kewalian mereka, bahkan bisa jadi mereka memberikan status wali kepada orang yang tidak diketahui keimanannya dan ketaqwaannya, atau justru dia dikenal sebagai wali dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai kewalian yang dimaksud dalam ajaran Islam, seperti sihir, tipu muslihat dan menghalalkan yang haram. Bahkan mereka kalangan tasawuf lebih mengutamakan untuk memohon kepada para wali tersebut daripada kepada para Nabi sebagaimana ucapan salah seorang diantara merekaمَقَامُ النُّبُوَّةِ فِي بَرْزَخٍ فُوَيْقَ الرَّسُوْلِ وَدُوْنَ الْوَلِيِّ“Kedudukan kenabian dalam barzakh sedikit lebih tinggi dari kedudukan rasul dan lebih rendah dari wali“Mereka juga berkata“Sesungguhnya para wali mengambil ajaran dari tempat malaikat mengambil wahyu yang kemudian dia wahyukan kepada para Rasul”.Mereka -kalangan sufi- juga mengaku bahwa para wali tersebut ma’shum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata “Banyak manusia yang keliru dalam masalah ini sehingga dia mengira bahwa seseorang adalah wali Allah, dia juga mengira bahwa setiap perkataan dan perbuatan wali Allah harus diterima dan dipegang meskipun bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, lalu mereka setuju dengan orang tersebut dan menentang apa yang Allah ajarkan lewat Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam yang telah Allah wajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk membenarkan apa yang diberitakan dan mentaati apa yang diperintahkan. mereka kalangan tasawuf menyerupai orang-orang Nasrani yang Allah katakan tentang mereka اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ “Mereka menjadikan ulama, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga mereka memper-tuhankan Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. At Taubah 31.Di dalam Al-Musnad dan dishahihkan oleh Turmuzi dari Adi bin Hatim tentang tafsir ayat diatas ketika Nabi menyatakan hal itu orang-orang Kristen yang menyembah pendeta-pendeta mereka, maka dia Adi bin Hatim berkata Sungguh mereka tidak menyembah pendeta-pendetanya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Bukankah mereka pendeta-pendeta itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan serta mengharamkan untuk mereka apa yang dihalalkan kemudian mereka menta’atinya?, itulah bentuk ibadah mereka kepada pendeta-pendetanya”. Sikap orang-orang Nasrani ini banyak anda dapatkan pada kebanyakan dari mereka orang-orang tasawuf, Misalnya adanya keyakinan bahwa seseorang yang menjadi wali Allah, dia dapat mengetahui berbagai perkara yang ghaib atau kuasa melakukan hal yang terjadi diluar adat kebiasaan, misalnya dengan menunjuk jari kepada seseorang, maka orang tersebut langsung mati, atau dia bisa terbang di udara ke Mekkah, atau berjalan diatas air, atau memenuhi ketel dari udara, atau ada sebagian orang yang meminta pertolongan kepadanya saat dia tidak ada atau setelah ia mati kemudian disaksikan bahwa wali tersebut mendatanginya dan memenuhi hajatnya, atau memberitahu manusia tentang tempat barang yang dicuri, barang yang hilang, penyakit atau yang semacamnya. Pada hakikatnya, Semua hal tersebut bukan menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah. Bahkan para ulama sepakat bahwa seseorang yang mampu terbang di udara atau jalan di atas air maka hendaklah kita tidak cepat terpesona sebelum melihat bagaimana dia mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap apa yang diperintahkan dan yang dilarang. Karamah para wali Allah lebih agung dari semua perkara-perkara aneh tersebut. Kejadian-kejadian yang terjadi di luar adat kebiasaan manusia, pelakunya bisa jadi wali Allah dan bisa jadi musuh Allah, karena hal tersebut banyak terjadi pada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, ahli kitab dan orang-orang munafik, dapat juga terjadi pada ahli bid’ah atau mungkin bersumber dari syaitan. Karena itu seseorang tidak boleh menyangka bahwa siapa yang mampu melakukan perkara aneh luar biasa maka dia adalah wali Allah. Akan tetapi wali Allah dinilai dengan sifat-sifat, amal perbuatan dan tingkah laku mereka yang ditunjukkan oleh Al-Quran As-Sunnah. Mereka dapat juga diketahui berdasarkan cahaya Al Quran, hakikat keimanan yang tersembunyi dan syari’at Islam yang kejadian diatas kejadian di luar adat kebiasaan manusia dan yang semacamnya bisa saja terjadi pada seseorang yang tidak pernah berwudhu, tidak shalat fardhu, berkubang dengan najis dan bergaul dengan anjing, yang bersemedi di wc-wc, tempat-tempat kotor, kuburan dan tempat-tempat sampah. Baunya busuk, tidak pernah bersuci dengan cara yang syar’i serta tidak bersih-bersih. Jika seseorang dikenal berkubang dengan najis dan hal yang menjijikkan yang disukai setan, atau dia bertapa di kamar mandi dan di tempat-tempat kotor yang dihuni setan, atau dia memakan ular dan kalajengking, kumbang, serta kuping anjing yang merupakan binatang-binatang yang menjijikkan atau minum air kencing, najis dan semacamnya yang disukai setan, atau dia berdoa kepada selain Allah, meminta tolong kepada makhluk, memohon kepadanya dan sujud di depan syaikhnya serta tidak memurnikan agama untuk Tuhan semesta alam, atau bergaul dengan anjing atau api atau bertapa di kuburan apalagi ternyata kuburannya adalah kuburan orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta orang-orang musyrik, atau benci untuk mendengarkan Al Quran atau menghindar darinya, bahkan dia lebih mengutamakan mendengar nyanyian-nyanyian atau syair-syair atau mendengarkan seruling-seruling setan daripada mendengarkan kalamullah. Maka semua itu merupakan tanda-tanda wali syaitan. [18] Kalangan tasawuf tidak hanya sampai sebatas itu yaitu dengan memberi gelar kewalian kepada orang semacam mereka, bahkan berlebih-lebihan terhadap mereka dengan memberikan beberapa sifat-sifat ketuhanan kepada mereka, yaitu dengan mengatakan bahwa mereka berperan atas apa yang terjadi di alam raya ini, mengetahui yang ghaib, dapat memenuhi setiap permohonan yang tidak mampu merealisasi-kannya kecuali Allah, nama-nama mereka disebut-sebut saat ada bencana padahal mereka telah mati atau tidak ada ditempat tersebut, mereka diminta untuk memenuhi kebutuhan dan menolak kesulitan, memberikan gelar kesucian dalam kehidupan mereka, kemudian menyembahnya setelah mereka wafat, membangun diatas kuburnya bangunan-bangunan dan mengambil barokah dengan tanah mereka dan thawaf di atas kubur mereka, dan bertaqarrub kepada mereka dengan berbagai macam nazar, menyebut-nyebut nama mereka dalam memohon kebutuhan-kebutuhan mereka. Inilah semua manhaj orang-orang tasawuf dalam masalah perwalian ataupun para wali. 5. Termasuk bagian dari agama tasawuf yang bathil adalah taqarrub-nya mereka kepada Allah dengan nyanyian dan tarian, memukul rebana dan bertepuk tangan. Mereka menganggap bahwa semua itu adalah ibadah kepada Allah. Dr. Shabir Tu’aimah berkata dalam kitabnya As-Sufiah Mu’taqadan wa Maslakan Sufi; aqidah dan tuntunan,“Tarian sufi telah menjadi ciri khas pada sebagian besar tarekat-tarekat sufi dalam berbagai kesempatan peringatan kelahiran tokoh-tokoh mereka, yaitu dengan berkumpulnya para pengikut tarekat tersebut untuk mendengarkan alunan suara musik yang keluar dari sekitar dua ratus orang pemusik, baik laki maupun wanita, sementara para pembesar duduk-duduk sambil menghisap berbagai macam rokok dan para pemimpin mereka serta para pengikutnya mengkaji kitab-kitab khurafat yang ditulis oleh orang yang diatas kuburannya diadakan perayaan. Dari berbagai penelitian, kami sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan musik di kalangan tarekat tasawuf masa kini merujuk kepada apa yang disebut sebagai “Nyanyian kristiani hari Minggu.”Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menjelaskan tentang awal mula timbulnya tasawuf serta sikap para ulama tentang hal tersebut dan apa saja yang mereka perbuat. “Ketahuilah bahwa hal tersebut bukan muncul pada kurun tiga abad pertama yang terkenal utama, tidak di Hijaz[19] tidak juga di Syam[20], tidak di Yaman tidak juga di Mesir, tidak di Maroko tidak juga di Irak, tidak juga di Khurasan. Di negri-negri tersebut tidak ada –pada waktu itu- orang alim, shaleh, zuhud dan ahli ibadah yang berkumpul untuk mendengarkan tepuk tangan dan siulan, dengan rebana atau dengan telapak tangan, tidak juga dengan potongan kayu. Akan tetapi semua itu terjadi di akhir abad ke tiga. Dan ketika para imam melihatnya, merekapun mengingkarinya. Imam Syafi’i rahimahullah berkata “Ketika saya meninggalkan Baghdad ada sesuatu yang dibuat-buat oleh orang-orang zindiq yang mereka namakan Taghbir nyanyian sufi yang menghalangi orang dari Al Quran”. Yazid bin Harun berkata “Tidak ada yang melakukan nyanyian sufi kecuali orang yang fasiq, entah kapan hal itu berawal ?”.Imam Ahmad ditanya tentang hal tersebut, maka dia menjawab Saya tidak menyukainya, itu adalah perkara yang diada-adakan. Ada yang berkata Apakah kita boleh duduk bersama mereka, beliau menjawab Jangan. Begitu juga semua imam agama membencinya, para ulama besar tidak ada yang menghadirinya, Ibrahim bin Adham tidak menghadirinya, tidak juga Fudhail bin Iyadh, tidak juga Ma’ruf Al Karkhi, tidak Abu Sulaiman Ad-Daariny, tidak juga Ahmad bin Abilhawary, Sirry Saqty dan yang seperti mereka. Sedangkan sejumlah ulama terhormat yang sempat menghadiri acara-acara mereka, pada akhirnya meninggalkannya, tokoh-tokoh ulama mencela pelaku-pelakunya sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Qadir dan Syaikh Abul Bayan dan lain-lainnya. Ungkapan Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa hal tersebut bersumber dari orang-orang zindiq, beliau adalah seorang imam dan ahli dalam Ushululislam kaidah dasar-dasar Islam. Disamping karena hal tersebut tidak didengar kecuali oleh mereka yang dituduh zindiq seperti Ibnu Ruwandi, Al-Farabi dan Ibnu Sina serta yang seperti mereka. Sedangkan orang-orang yang hanif pengikut Ibrahim –alaihis-salam- yang Allah jadikan dia sebagai imam dan penganut agama Islam yang tidak diterima dari seorangpun agama selainnya dan mengikuti syariat Rasul terakhir Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, maka tidak ada diantara mereka menyukainya dan menyerukan kepada perbuatan semacam itu. Mereka yang dimaksud orang Islam adalah pengikut Al Quran, keimanan dan petunjuk dan kebahagiaan, cahaya dan kemenangan, ahli ma’rifah, ilmu dan keyakinan serta keikhlasan kepada Allah, mencintai-Nya, tawakkal kepada-Nya, takut dan kembali yang memiliki pengetahuan tentang hakikat agama islam; baik hati, pengetahuan, serta perasaannya segera mengetahui bahwa mendengarkan orang yang bersiul dan bertepuk tangan tidaklah mendatangkan manfaat bagi hati dan kemaslahatan, tetapi justru mengandung kemudharatan dan bahaya yang lebih parah. Hal tersebut bagi ruh seperti khamar bagi jasad, karena mengakibatkan pelakunya mabuk melebihi seseorang mabuk karena khamar sehingga mereka merasakan kelezatan tanpa dapat membedakan, sebagaimana yang dirasakan orang yang mabuk karena minum khamar, bahkan dapat terjadi lebih banyak dan lebih besar dari peminum khamar, menghalangi mereka untuk zikir kepada Allah dan shalat melebihi pengaruh minum khamar. Mendatangkan kepada mereka pertikaian dan permusuhan lebih besar dari apa yang terjadi karena minum khamar”.Ibnu Taimiyah berkata “Adapun tarian, tidak diperintahkan oleh Allah, begitu juga Rasul-Nya, tidak juga salah seorang imam, bahkan sebaliknya, Allah berfirman dalam kitab-Nya وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu”. Luqman 19.Allah berfirman وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأَرْضِ هَوْنًا “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati”. Al-Furqan 63.maksudnya dengan tenang dan penuh wibawa, sedangkan ibadahnya orang beriman adalah ruku’ dan sujud”. Adapun rebana dan tarian tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, tidak pula oleh seseorang dari kalangan salaf umat ini. Adapun perkataan orang-orang bahwa hal tersebut adalah jaring yang digunakan untuk “menjaring” orang-orang awam adalah benar adanya, karena kebanyakan mereka menjadikan jaring tersebut untuk mendapatkan makanan atau roti diatas makanan. Allah ta’ala berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya seba-gian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah”. At-Taubah 34Yang melakukan hal tersebut adalah tokoh-tokoh kesesatan yang dikatakan kepada pemimpin-pemimpin mereka وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا 67 رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا “Dan mereka berkata “ Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta’ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. Al Ahzab 67-68.Sedangkan jala yang dimaksud untuk menjaring massa, sesungguhnya adalah jala yang robek dimana buruannya keluar lagi jika telah masuk ke dalamnya, karena yang masuk untuk mendengar suara-suara bid’ah dalam tarekat sedang dia tidak memiliki landasan syari’at Allah dan Rasul-Nya, akan terwarisi dalam dirinya kondisi yang parah…[21].Kalangan tasawuf yang mendekatkan diri kepada Allah dengan nyanyian dan tarian, tepat bagi mereka firman Allah ta’ala الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا “Yaitu orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau” Al-A’raf 51. 6. Termasuk diantara kebathilan ajaran tasawuf adalah apa yang mereka katakan bahwa ada derajat dimana orang yang meraihnya boleh meninggalkan beban syariat seiring meningkatnya derajat tasawuf orang tersebut. Mulanya tasawuf bermakna -sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi Olah jiwa- “membentuk watak dengan mengusir prilaku buruk dan mengarahkannya kepada akhlak mulia, berupa zuhud, santun, sabar, ikhlas dan jujur”. Inilah yang dipahami oleh generasi pertama dari kalangan tasawuf, kemudian Iblis mengecoh mereka dalam beberapa hal, kemudian menyesatkan orang-orang sesudah mereka dan pengikut mereka. Maka setelah berlalu satu abad, keinginan Iblis untuk menyesatkan semakin menjadi-jadi hingga berhasil menyesatkan generasi belakangan. Prinsip dari penyesatan Iblis adalah mencegah mereka dari ilmu dan menggiring mereka kepada pemahaman bahwa yang paling penting adalah amal[22], maka ketika pelita ilmu padam dari mereka, mereka berjalan meraba-raba dalam kegelapan, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa tujuan sebenarnya adalah meninggalkan dunia secara keseluruhan, mereka menolak merawat tubuh mereka dan menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka lupa bahwa harta diciptakan untuk maslahat, mereka berlebih-lebihan membebani jiwa hingga ada diantara mereka yang hampir-hampir tidak pernah berbaring. Mereka sebenarnya punya tujuan yang baik, akan tetapi cara mereka tidak tepat. Diantara mereka yang karena sedikit ilmunya beramal berdasarkan hadits-hadits palsu maudhu sedang dirinya tidak mengetahuinya, kemudian datang setelah itu orang-orang berbicara kepada mereka tentang lapar, kefakiran, was-was keraguan dan lintasan-lintasan pemikiran lalu mereka mengarang buku tentang hal tersebut; seperti Harits Al-Muhasibi, kemudian datang yang lain lagi lalu menyusun mazhab sufi dan memberinya kekhususan dengan sifat-sifat tertentu; penampilan lusuh, nyanyian sentimental, tarian dan tepuk tangan. Kemudian terus berkembang, para guru tarekat tersebut meletakkan beberapa perkara dan berbicara tentang kondisi-kondisi mereka, dan mereka jauh dari ulama, mereka melihat bahwa pada diri guru mereka terdapat kelebihan sehingga mereka menyebutnya dengan ilmu batin sementara ilmu syariat mereka anggap sebagai ilmu zahir. Diantara mereka ada yang karena rasa lapar melahirkan khayalan-khayalan yang rusak sehingga mereka mengaku tengah bermesraan dengan Al-Haq dan terbuai dengan-Nya. Seakan-akan mereka sedang menghayal seorang yang dengan paras menawan yang membuat mereka jatuh berada dalam kekufuran dan bid’ah, kemudian dari berbagai kaum yang ada mereka terpecah-pecah dalam berbagai macam tarekat, maka rusaklah aqidah mereka. Diantara mereka ada yang menyatakan ajaran Al-Hulul peleburan diri seorang hamba dengan tuhan, ada juga yang mengatakan Al-Ittihad Tuhan berada dalam dirinya, dan Iblis terus menjerumuskan mereka dengan berbagai macam bid’ah hingga mereka menjadikan untuk diri mereka ajaran-ajaran Islam Ibnu Taimiah berkata tentang kaum yang terus menerus melakukan olah jiwa kemudian mereka menyatakan bahwa diri mereka telah sampai pada tingkatan hakikat. Lalu mereka berkata, “kami sekarang tidak peduli lagi dengan apa yang kami ketahui, sesungguhnya perintah dan larangan adalah aturan untuk orang awam, seandainya mereka telah sampai pada tingkatan hakikat maka gugurlah segala kewajiban dari mereka, dan kandungan kenabian adalah untuk mendatangkan hikmah dan maslahat, tujuannya adalah untuk mengikat orang-orang awam, dan kami bukan lagi termasuk orang awam, kami telah masuk pada wilayah disingkirkannya setiap kewajiban, karena kami telah sampai pada hakikat dan telah mengetahui hikmah”. Maka Syaikhul Islam menjawab “Tidak diragukan bagi kalangan ahli ilmu dan beriman bahwa ucapan seperti itu adalah ucapan yang sangat sarat dengan kekufuran, dia lebih buruk dari ucapan orang Yahudi dan Nasrani. Karena orang Yahudi dan orang Nasrani mengimani sebagian isi Al Kitab dan ingkar kepada sebagian lainnya. Mereka Yahudi dan Nasrani memang benar-benar orang kafir, tapi mereka tetap mengakui bahwa Allah memiliki perintah dan larangan, janji dan ancaman dan juga terhadap diri mereka hingga mati, hal ini jika mereka tetap berpegang teguh terhadap Agama Yahudi dan Nasrani yang sudah diubah dan dihapus, adapun orang-orang munafik di kalangan mereka sebagaimana pada umumnya, terjadi pada filosuf mereka, mereka lebih buruk dari kalangan munafik umat ini umat Islam, karena mereka menampakkan kekufuran dan menyembunyikan kemunafikan, maka mereka lebih buruk dari yang orang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kemunafikan”. Maksudnya adalah bahwa orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan sejumlah keyakinan yang telah dihapus dan kandungannya telah mengalami perubahan itu lebih baik dari mereka yang mengaku telah gugurnya perintah dan larangan terhadap diri mereka secara keseluruhan, karena dengan demikian mereka keluar dari aturan semua kitab-kitab suci, syariat-syariat dan ajaran-ajaran dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan Allah baik perintah maupun larangan. Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih memegang teguh dengan sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim alaihissalam, karena pada diri mereka ada sedikit kebenaran yang mereka pegang teguh, meskipun dengan demikian mereka tetap orang-orang musyrik. Sedang mereka, orang-orang yang mengaku tidak ada keterikatan sama sekali dengan kebenaran karena mereka mengaku bahwa semua itu sia-sia, tidak ada lagi perintah dan larangan buat mereka. Diantara mereka ada yang berhujjah dengan firman Allah ta’ala وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini ajal”. Al-Hijr 99.Mereka mengatakan bahwa artinya adalah, “Sembahlah Tuhanmu hingga kamu meraih ilmu dan ma’rifah, jika kamu mendapatkan hal tersebut maka gugurlah kewajiban ibadah darimu”.Sebagian lain mungkin ada yang berkata, “Beramallah hingga engkau mencapai derajat tertentu, jika telah sampai derajat tasawuf, maka gugurlah ibadah darimu”. Dan mereka adalah orang-orang yang apabila telah tercapai tujuannya berupa ma’rifah dan kondisi tertentu, maka baginya diperbolehkan untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melaksanakan yang diharamkan. Ini adalah kekufuran sebagaimana yang telah lalu. Dalil mereka diatas dengan firman Allah ta’ala وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini ajal”. Al-Hijr 99.Sebenarnya itu adalah dalil yang memberatkan mereka bukan yang membela mereka. Hasan Basri berkata “Sesungguhnya Allah tidak membatasi kapan seseorang boleh meninggalkan amal shaleh kecuali setelah datang kematiannya”, kemudian beliau membaca ayat وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ karena yang dimaksud اليقين dalam ayat tersebut adalah kematian dan hal ini telah disepakati ulama. Makna اليقين dalam ayat di atas sama dengan makna اليقين dalam firman Allah ta’ala مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ* قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ* وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ* وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ* وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ*حتى أتانا اليقين “Apakah yang memasukkan kamu kedalam Saqar neraka ?”. Mereka menjawab “ Kami dahulu termasuk orang-orang yang tidak mengerjakan shalat. Dan kami tidak pula memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami Al yaqin kematian”. Al-Mudatsir 42-47.Hal ini mereka katakan saat mereka berada dalam neraka jahannam, mereka katakan bahwa dosa yang mereka perbuat adalah meninggalkan shalat dan zakat serta mendustakan hari kiamat, membicarakan yang bathil kepada orang-orang yang bathil, hingga datang kepada mereka kematian اليقين. Sebagaimana diketahui bahwa saat mereka berkata demikian, mereka bukanlah orang-orang beriman dengan semua itu di dunia ini dan bukan pula orang-orang yang Allah katakan tentang mereka وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ “Serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat“ Al-Baqarah 4.Jadi yang dimaksud dengan ayat حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُadalah hingga datang kepada mereka apa yang dijanjikan, yaitu Al-yaqin kematian.Ayat tersebut menjelaskan wajibnya ibadah bagi seorang hamba sejak dia menginjak usia baligh dan berakal hingga kematiannya. Dan tidak ada kondisi sebelum kematian dimana beban kewajiban menjadi gugur sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang sufi. PENUTUPItulah “agama” tasawuf yang dulu maupun sekarang, dan itulah pandangan mereka terhadap ibadah, kami berbicara tentang mereka semata-mata bersumber dari buku-buku mereka kecuali sedikit saja yang berasal dari buku diluar mereka serta buku-buku yang mengkritik mereka dan apa yang menunjukkan aktivitas-aktivitas mereka pada masa kini. Itupun yang saya bahas dari satu sisi saja dari sekian banyak pembahasan pada mereka, yaitu dari sisi ibadah dan sikap mereka tentang hal tersebut. Dan masih banyak sisi-sisi lain yang butuh pembahasan-pembahasan, seperti sikap mereka tentang tauhid, kerasulan, tentang syariat, taqdir dan yang lainnya. Kita mohon kepada Allah ta’ala agar memperlihatkan kepada kita bahwa yang haq itu adalah haq dan memberikan kekuatan kepada kita untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kita bahwa yang bathil itu adalah bathil dan memberikan kekuatan kepada kita untuk menjauhinya dan agar Dia tidak menggoyahkan hati-hati kita setelah kita diberi petunjuk oleh-Nya. Washallahu `ala Muhammad wa alihi wa sahbih wa sallam1. Thagut adalah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah ta’ala . [2] . Maksudnya adalah bahwa ibadah sudah ditentukan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Akal fikiran tidak memiliki andil dalam penetapannya. [3] . Ikhlash berarti beribadah hanya untuk Allah dan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya, lawannya adalah syirik penj..[4]. Ungkapan yang diberikan kepada para shahabat yang tinggal di masjid Nabawi karena tidak memiliki rumah di Madinah, disebabkan mereka hijrah dari negrinya menuju kota Majmu’ Fatawa, 11/5,7,16,18.[6] Rahbaniyah ialah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri di Hal. 171. Hal. 282. Hal. 19[10]. Zindiq Ungkapan yang umumnya diberikan kepada mereka yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya atau kepada mereka yang tidak percaya adanya Tuhan dan hari kiamat Mu’jam Alfaaz Al-Aqidah. penj. [11] . Kelompok yang salah satu keyakinannya adalah bahwa amal perbuatan bukan merupakan syarat keimanan. Seseorang tidak dinyatakan hilang keimanannya –yang pernah dia ikrarkan- walau tidak pernah beramal sama sekali penj.[12] . Istilah yang diberikan kepada pengikut Khawarij, mereka adalah kelompok yang sangat tekun beribadah namun mengkafirkan sesama muslim dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat. Diantara keyakinan mereka adalah bahwa siapa yang berdosa besar maka dia kafir dan kekal didalam neraka. Kata Haruri berasal dari nama tempat dimana pada saat itu kelompok ini banyak berkumpul. penj.1. Al-Ubudiah, oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 90, cet. Dirjen fatwa.[14] . Hadits yang dibuat-buat hadits palsu1. Orang yang mengikuti salah satu syekh dalam sebuah tarekat sufi. penj.[16] . Kalimat tauhid jika diucapkan secara lengkap لا إله إلا الله mengandung arti yang sangat penting; yaitu adanya nafy meniadakan segala bentuk ketuhanan selain Allah/لا إله dan Itsbat hanya mengakui Allah sebagai tuhan/إلا الله. Sedangkan jika diucapakan secara mutlak begitu saja dengan lafaz الله maka arti yang sangat penting tersebut akan hilang penj.[17] . Risalah Al-Ubudiah, hal 117-118, cet. Al-Ifta’1. Majmu’ Fatawa, 11/210-216[19] . Mekkah dan sekitarnya.[20] . Sekarang ini menjadi negara Palestina, Yordania, Lebanon dan Syiria. penj.1. Majmu’ Fatawa 11/569-574[22] . Walau tanpa dilandasi pemahaman yang benar tentang amal tersebut berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah Penj.
Doayang baik untuk mendapatkan jodoh adalah doa yang terdapat dalam surat Al Furqon ayat 74 : "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa".
PendahuluanDefinisi Tasawuf/SufiLahirnya Ajaran TasawufPendahuluanالحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعدIstilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali kekasih Allah ta’alaSebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa kalau kita melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir kelompok khawarij ini maka tidak akan ada seorang pun yang menduga bahwa mereka menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda“…Mereka orang-orang khawarij selalu mengucapkan secara lahir kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi bacaan tersebut tidak melampaui tenggorokan mereka tidak masuk ke dalam hati mereka…” HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu.Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda “… Bacaan Al Quran kalian wahai para sahabatku tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, demikian pula shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, demikian pula puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuMaka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiyallahu anhum dalam beribadah karena memang para Sahabat radhiyallahu anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riyaYang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan “Tidak ada hukum selain hukum Allah azza wa jalla“. Maka Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiyallahu anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiyallahu anhu “slogan mereka itu adalah kalimat yang nampaknya benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”Semoga Allah azza wa jalla Merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau “Perhatikan dan cermatilah -semoga Allah azza wa jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallamradhiyallahu anhu atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlussunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu anhum berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga akibatnya kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” Syarhus Sunnah, tulisan Imam Al Barbahari tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi. Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawuf Tasawuf/SufiKata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” kain wol dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh menyerupai Nabi Isa Al Masih alaihi sallam Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” hal. 13, tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” yang artinya penisbatan kepada suku Quraisy, dan kata “Al Madani” artinya penisbatan kepada kota Madinah dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiyallahu anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen, tapi pendapat ini jelas salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shuffi” dengan huruf “fa’ “yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” barisan yang terdepan di hadapan Allah azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” orang-orang terpilih dari semua makhluk Allah azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada seorang yang bernama Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu zaman jahiliah pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk ibadah setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah suku ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan -dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” kain wolMajmu’ul Fatawa, 11/5-6.Lahirnya Ajaran TasawufTasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14.Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al Bashri” Majmu’ Al Fatawa 11/5.Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota islam lainnya Majmu’ Al Fatawa, 11/6.Berkata Imam Ibnu Al Jauzi “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. Talbis Iblis hal 161.Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan hal. 17 “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13.Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14.Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15Baca pembahasan selanjutnya Hakikat Tasawuf Bag. 2—Penulis Ustadz Abdullah Taslim, Lc. Artikel TranslatePDF. BAB II KERANGKA TEORITIK A. Pengertian Zuhud,Thariqah dan Manusia Modern 1. Pengertian Zuhud Secara Etimologis Dan Terminologis Zuhud secara literal berarti 'meninggalkan', 'tidak tertarik', dan 'tidak menyukai'. Dalam Al- Qur'an, misalnya disebut pada QS Yusuf (12 ):20 seperti berikut: ִ☺ ִ $%& ,-. Abstract Read online Sufism is one of the Islamic sciences that specifically addressed the inner truth of a man hakikat. Human existence is very dependent on the inner side, from this, human could be directed into a positive taqwa or negative person fujur. Moreover, study of this hakikat is usually done through a sufistic approach. Some of the well-known Sufi figures whose worthy of research is Abu Hamid Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Shafi’I, commonly called Imam al-Ghazali. The study of the hakikat conducted by Ghazali is very influential on the Islamic world and in fact modern-west. This study uses library research approach using books and literatures on his thoughts especially related to the subject of a man and Sufism. Result from this study shows that according to Ghazali, the concept of hakikat or the inner truth is posits inside an integrated individual soul and body, the soul as determinant of life and body as a container of the soul. If someone’s soul is clean taqwa then the body is also become clean taqwa and vice versa if his soul is dirty fujur then the body is become negative fujur. Hakikat would be appeared when a man become a ma’rifatullah . The attainment of the soul into ma’rifatullah stage must go through three processes. firstly takhalli , secondly, tahalli and tajalli and the third is al-nafs almuthma’innah which means having a calm and peaceful soul to be always together with the eternal substance. Keywords
BilaKuburan Diagungkan, Bag-2. "Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam serta menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa
Kata Tasawuf atau Tashawwuf shufiyyah diambil dari akar kata Yunani yaitu shopia artinya adalah hikmah. Adapula yang mengatakan bahwa kata itu dinisbatkan kepada pakaian shuuf wol –dan inilah makna yang paling dekat dengan kebenaran- dan pendapat inilah yang dianggap kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebab beliau melihat langsung orang-orang shufi memakai pakian dari dari shuuf wol dengan anggapan bahwa pakaian itu melambangkan kezuhudan.[1] Yang jelas, kata shufi shufiyyah bukan berasal dari kata shofa bersih sebagaimana yang mereka ahli tashawwuf dakwahkan.[2] Sebab kalau berasal dari shofa الصفاء tidak mungkin menjadi shufi صوفي tetapi صفائي.[3] Penamaan Tasawuf Penamaan Tasawuf/Tashawwuf dan shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal ada setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa awal munculnya shufiyyah adalah dari Bashrah di Irak. Di Bashrah terjadi sikap berlebih lebihan dalam kezuhudan dan Ibadah yang tidak pernah terjadi di seluruh negeri.[4] Ajarannya dinamakan Tashawwuf , sedang orang yang menganut dan memeluknya dinamakan shufi.[5] Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar[6], “ Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tatacara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”[7] Hakikat Tashawwuf dan Perbedaannya dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir wafat berkata di dalam bukunya at-Tashawwuf al-Mansya’ wal mashadir , “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran shufi yang pertama dan terakhir belakangan serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab shufi, baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas Perbedaan yang jauh antar shufi dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah, Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit shufi di dalam perjalanan hidup Nabi dan para sahabat beliau, yang mereka adalah sebaik-baik pilihan Allah Ta’ala dari para hamba-Nya setelah para Nabi dan para Rasul. Sebaliknya kita bisa melihat ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta Kezuhudan Budha, konsep asy-syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platoisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”[8] Berbagai sekte aliran Tasawuf Orang-orang shufi telah berpecah belah sedemikian hebat. Semakin lama dunia pershufian tashawwuf, semakin banyak melakukan penyimpangan dan dan amalan-amalan ibadah yang mengada-ada dalam agama yang jauh lebih dahsyat dari pendahulunya. Dan hal ini telah diperingatkan oleh Rasulullah ﷺ dalam haditsnya, أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَ السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ، وَ إِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْددِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وِ إِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, selalu mendengar dan taat, meski yang memerintahkan kalian adalah seorang budak . Barangsiapa hidup sepeninggalku, pasti akan melihat adanya banyak perselisihan. Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para alkhulafa arrasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ajaran mereka dengan ajaran kalian. Hendaknya kalian menjauhi ibadah yang dibuat-buat, sesungguhnya ibadah yang dibuat-buat itu adalah bid’ah dan segala bid’ah itu sesat.”[9] Diantara beberapa sekte tarekat shufi yang terkenal, diantaranya Rifa’iyyah, Syadziliyah, Qaqiriyah, at-Tijaniyah,[10] Naqsabandiyah[11] dan lainnya. Mereka masing-masing mengklaim bahwa kamilah yang paling benar, golongan selain kami salah. Padahal Islam sangat melarang untuk berpecah belah dan bergolong-golongan[12] sebagaimana Firman Allah, وَ لاَتَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ 31 مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَ كَانُوْا شِيَعًا ، كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ 32 “ Janganlah kalian menjadi orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang berpecah belah dalam agamanya dan mereka bergolong-golongan. Setiap golongan bangga dengan golongan mereka masing-masing.”[13] Tokoh-tokoh Tasawuf Banyak sekali pendapat dari tokoh-tokoh tashawwuf yang menyimpang dari al-Quran dan as-Sunnah serta jauh dari apa yang diamalkan oleh para sahabat Nabi ﷺ. Semoga Allah melindungi kita dari berbagai macam keyakinan yang menyimpang. Diantara pendapat tersebut adalah Ibnu Arobi Ia adalah salah seorang tokoh shufi yang terkenal, dimakamkan di Damaskus. Di dalam kitabnya berjudul Futuhat Al Makkiyah, dia berkata, “ Bisa saja sebuah hadits yang sebelumnya dihukumi shahih oleh ahlul hadits berdasarkan jalan periwayatannya, kemudian dihukumi tidak shahih oleh orang yang memiliki ilmu kasyaf ilmu menyingkap rahasia, dengan alasan telah menanyakan langsung kepada Rasulullah ﷺ baik lewat mimpi atau dan Rasulullah mengingkari hadits shahih tersebut dan menegaskan bahwa beliau belum pernah mengatakan hadits itu dan belum pernah menetapkan satu hukum dari hadits tersebut. Sehingga hadits shahih tersebut berubah menjadi hadits dha’if, harus ditinggalkan serta tidak boleh diamalkan berdasarkan keterangan langsung dari Rasulullah ﷺ melalui Allah. Walaupun hadits itu telah diamalkan oleh ahli riwayat ahlul hadits karna riwayatnya shahih, tetapi pada hakikatnya hadits tersebut tidak boleh diamalkan.” Pendapat aneh ini juga dapat ditemukan pada muqaddimah buku Al-Hadits Al-Musytahirah . Pendapat ini jelas-jelas berbahaya dan merupakan ancaman terhadap hadits-hadits Nabi ﷺ. Selain itu pendapat ini juga mencela dan merendahkan ulama-ulama ahli hadits seperti Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain.[14] Ibnu Arabi mengajak kepada persatuan agama-agama yaitu Yahudi, Nasrani, Penyembah berhala dan Islam. Dia berkata “ Dulu aku mengingkari teman yang berbeda agama denganku. Tetapi hari ini hatiku telah lapang menerima perbedaan. Karena itu biarkanlah padang rumput untuk kumpulan rusa, biara untuk para rahib, candi untuk berhala, Ka’bah untuk orang thawaf, batu tulis untuk Taurat dan Mushaf untuk Al-Quran.”[15] Pendapat ini dibantah dengan Firman Allah, وَ مَنْ يَبْتَغِيْ غَيْرَ الْإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَ هُوَ فِيْ الْآخِرَةِ مِنَ الْخَٰسِرِيْنَ 85 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”[16] Ibnu Arabi juga berkeyakinan bahwa Allah adalah makhluk dan makhluk adalah Allah. Keduanya saling menyembah satu dengan yang lain. Hal ini tersirat dalam syairnya, “Dia memujiku dan akupun memujiNya Dia menyembahku dan akupun menyembahNya ?”[17] Dalam bukunya Al-Fushush haqiqat Ibnu Arabi juga pernah berkata, “ Sesungguhnya seorang laki-laki ketika meniduri istrinya, sebenarnya sedang meniduri Al-Haq.[18] Kita berlindung kepada Allah dari perkataan yang rusak ini. An-Naabalusi Dia menerangkan kata-kata Ibnu Arabi diatas dengan kalimat, “sesungguhnya dia sedang menyetubuhi Al-Haq.” [19] Abu Yazid Al-Bustami Di saat bermunajat kepada Allah, dia berkata, “ Ya Allah! Hiasilah diriku dengan ke-Maha EsaanMu. Kenakanlah kepadaku pakaian keRabbaniyahanMu. Dan angkatlah aku sampai ke derajat Mahatunggal seperti DiriMu. Sehingga jika orang-orang melihat diriku, mereka akan mengatakan, Oh, kami telah melihat Allah.” Abu Yazid berkata, “ Mahasuci aku, mahasuci aku, betapa agung keadaanku, surga bagiku tak lain hanyalah mainan anak-anak saja!!’[20 Jalaludin Rumi Dia pernah berkata, “ Saya seorang muslim. Tapi saya juga seorang Nasrani, penganut Budha dan Zoroaster. Tempat ibadahku bukan satu. Bisa di masjid, gereja, ataupun candi.”[21] Ibnu Faridh Dia pernah berkata, “ Sesungguhnya Allah pernah menampakkan diri kepada Qais dengan bentuk rupa Laila, pernah menampakkan diri kepada kutsair dengan bentuk rupa Azah, pernah menampakkan diri kepada Jamil bentuk rupa Butsainah.” Kalimat ini terdapat dalam Qasidah kumpulan syair-syair nya dengan judul At-Taiyah Al-Ma’rufal. Dala qasidah ini dia mengakui bahwa peristiwa itu adalah Tajliyat Al-Haq penampakan Allah[22] Rabi’ah Al-Adawiyah Ketika ditanya oleh seseorang, “ Apakah anda benci kepada setan? “ Dia menjawab, “ sesungguhnya hatiku yang telah terpenuhi oleh kecintaan kepada Allah, tidak menyisakan sedikitpun kebencian kepada siapa saja.” Dalam munajatnya, dia pernah berdoa, “ Ya Allah, jika aku menyembahMu karna takut neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.” Padahal Allah berfirman, يٰۤأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيْكُمْ نَارًا. . . “ Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …”[23] Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh dan aqidah tashawwuf yang bertentangan dengan Al-Quran dan as-Sunnah.[24] Penyimpangan Aqidah Tasawuf dari Al-Quran dan Sunnah Penyimpangan tashawwuf dalam masalah aqidah banyak sekali. Berikut diantaranya Mereka membangun ibadah-ibadah mereka dengan rasa cinta saja dan tidak mempedulikan rasa takut dan harap, sebagaimana dikatakan oleh sebagian mereka,” Saya beribadah kepada Allah bukan karna menginginkan Surga tidak pula takut dengan Nereka.”[25] Mereka menjadikan kubur-kubur para wali, orang shalih atau yang lainnya sebagai tempat ibadah. Mereka mengajak manusia untuk menyembah kubur, beribadah di sisi kubur, bertawassul kepada penghuni kubur, bertabarruk kepada mereka, minta syafaat kepada mereka dan yang lainnya dari perbuatan syirik.[26] Secara umum, dalam beragama dan beribadah mereka tidak merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah dan tidak mencontoh Nabi ﷺ. Yang menjadi rujukan mereka adalah perasaan mereka, ajaran guru-guru mereka berupa tarekat-tarekat yang bid’ah, berbagai dzikir dan wirid yang bid’ah, bahkan mereka juga berdalil dengan cerita-cerita, mimpi-mimpi dan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajarannya. Itu semua sebagai ganti dari berdalil dengan Al-Quran dan As-Sunnah.[27] Mereka melazimi terus-terus mengamalkan dzikir dan wirid yang dibuat oleh guru mereka sehingga menjadi terikat dengannya, beribadah dengan membacanya, bahkan bisa jadi mereka lebih mengutamakan dzikir dan wirid itu daripada membaca Al-Quranul Karim. Dan mereka menamakannya dengan “ dzikir khusus”. Adapun dzikir yang berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah mereka namakan dengan “ dzikir umum”. Maka kalimat laa ilaaha illallah menurut mereka adalah dzikir umum. Adapun dzikir khusus adalah bentuk kata tunggal yaitu “ Allah”, sedang dzikir lebih khusus lagi khashshatul khashashah ialah kata “ Huwa Dia”.[28] Mereka berlebih-lebihan terhadap para wali dan guru-guru mereka. Ini bertentangan dengan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’[29] Sebagian mereka mengatakan,” Maqam kedudukan/derajat kenabian di alam barzakh berada sedikit di atas rasul dan berada di bawah wali.”[30] Mereka bertaqarrub kepada Allah melalui nyanyian, tarian, memukul rebana, dan tepuk tangan. Mereka mengganggap hal ini sebagai bentuk ibadah kepada Allah.[31] Membagi manusia menjadi empat tingkatan syari’at, tarekat, hakikat, dan ma’ Menurut mereka, apabila seseorang telah mencapai derajat ma’rifat maka orang itu bebas dari kewajiban syari’at dan tidak perlu lagi shalat, puasa, dan lainnya atau tidak perlu lagi menjauhi larangan seperti zina, minum khamr, dan lain-lain??!!.[32] Membuat-buat dan menetapkan berbagai macam ibadah bid’ah seperti shalat, dzikir, dan lainnya yang tidak ada asal-usulnya dalam agama Islam.[33] Berdzikir berjama’ah dengan suara keras dan dengan satu suara.[34] Berdzikir dengan lafadz “ Allah, Allah, Allah, …” atau “ Huwa, Huwa, Huwa …” atau “ Hu, Hu, Hu ..”[35] Adanya ajaran bi’[36] Ghuluw kepada guru-guru mereka sampai mereka sujud dan menyembah guru-guru mereka yang telah mati.[37] Mereka mengatakan adanya ilmu batin dan ilmu lahir.[38] Dan menurut mereka ilmu yang mereka dapatkan itu terkadang langsung dari Allah, terkadang melalui Malaikat, terkadang mengambil dari Nabi Khidir, terkadang dari mimpi, bahkan terkadang mereka menyangka bahwa mereka mengambil ilmu dari lauhul Mahfudz???!!.[39] Kalangan yang ekstrim dari mereka mengatakan bahwa Allah menitis ke makhlukNya, dan meyakini bahwa Allah adalah makhluk dan makhluk adalah Allah??!!.[40] Dan berbagai macam aqidah menyimpang lainnya.[41] Referensi [1] Majmuu’ fataawa XI/6-7 dan Haqiiqatush shuufiyyah Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [2] Para ahli Tashawuf mengalami banyak kerancuan dan perbedaan yang membingungkan mereka dalam menisbatkan istilah sufi sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya Talbis Iblis Lihat Bab Kerancuan mereka ahli Tashawwuf dalam menjelaskan penisbatan istilah sufi dalam kitab Talbis iblis oleh Ibnul Jauzi yang ditahqiq oleh syaikh Ali Hasan al-Halabi, Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit Pustaka Imam Syafi’I, hal. 220-223 [3] Lihat Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 12 [4] Majmuu’ fataawa XI/16 Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [5] Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [6] Dalam kitabnya ash-shufiyyah mu’taqadan wa maslakan [7] Ash-shufiyyah mu’taqadan wa maslakan dikutip dari Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [8] At-Tashawwuf al-Mansya’ wal mashadir cet. I/Idaarah Turjumanis Sunnah, Lahore-Pakistan, H Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [9] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab as-Sunnah, bab mengikuti Jamaa’ah IV201, Diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi, dalam kitab al-Ilm bab riwayat berpegang pada sunnah dan menjauhi Bid’ah V44, Beliau berkomentar “ Hadits ini hasan shahih.” Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Mukaddimah, bab Mengikuti al-Khulafa ar-Rasyidun al-Mahdiyin I15-16, dan Ahmad IV46-47 Lihat kitab Nurus Sunnah wa zhulumatul bid’ah fi Dhau’il kitab was Sunnah yang ditulis oleh Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani yang diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir, penerbit Darul Haq, Hal. 54-55 [10] Diraasaat fit Tashawwuf Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [11] Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 13 [12] Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 13 [13] Al-Quran Surat ar-Rum31-32 [14] Lihat Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 39-40 [15] Lihat Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 41 [16] Al-Quran Surat Ali Imran85 [17] Lihat Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 42 [18] Lihat Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 42 [19] Lihat Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 42 [20] Lihat Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 42 [21] Lihat Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 43 [22] Lihat Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 43 [23] Al-Quran Surat at-Tahrim 6 [24] Lihat penjelasan detail tentang penyimpangan aqidah tashawwuf dalam kitab Talbis iblis oleh Ibnul Jauzi yang ditahqiq oleh syaikh Ali Hasan al-Halabi, Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit Pustaka Imam Syafi’i, hal. 218-568, lihat pula Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 14-38 [25] Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Shalih Fauzan Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [26] Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [27] Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Shalih Fauzan Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [28] Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Shalih Fauzan Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [29] Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Shalih Fauzan Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [30] Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Shalih Fauzan Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [31] Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Shalih Fauzan Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [32] At-Tashawwuf al-Mansya wal mashadir dan Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Shalih Fauzan Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [33] Al-Fikrus Shuufi Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [34] Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [35] Haqiiqatut Tashawwuf karya Syaikh Shalih Fauzan Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [36] Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [37] Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [38] At-Tashawwuf al-Mansya wal mashadir Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [39] Al-Fikrus Shuufi Lihat Mulia dengan manhaj salaf, [40] Al-Fikrus Shuufi Lihat Mulia dengan manhaj salaf, hal. 527 [41] Lihat penjelasan detail tentang penyimpangan aqidah tashawwuf dalam kitab Talbis iblis oleh Ibnul Jauzi yang ditahqiq oleh syaikh Ali Hasan al-Halabi, Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit Pustaka Imam Syafi’i, hal. 218-568, lihat pula Kitab ashshufiyyah fii mizanil kitab wa as-sunnah, oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Edisi bahasa Indonesia, penerbit Media Hidayah, hal. 14-38
.
  • 6mel4kcxw9.pages.dev/386
  • 6mel4kcxw9.pages.dev/230
  • 6mel4kcxw9.pages.dev/9
  • 6mel4kcxw9.pages.dev/201
  • 6mel4kcxw9.pages.dev/60
  • 6mel4kcxw9.pages.dev/290
  • 6mel4kcxw9.pages.dev/233
  • 6mel4kcxw9.pages.dev/99
  • 6mel4kcxw9.pages.dev/301
  • hakikat jodoh menurut tasawuf